rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

08 November 2014

UU No 2 Tahun 2012: Ujung-ujungnya Masalah Ganti Rugi

Persoalan yang sering mendera dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan adalah masalah ganti rugi. Persoalan ini dalam satu sisi menghambat pembangunan namun di sisi lain ada hak-hak warga yang harus dipenuhi. Dalam banyak kasus pembangunan di Indonesia yang membutuhkan pengadaan tanah, persoalan ganti rugi ini terus membuntuti.

Pada jaman pemerintahan Orde Baru, ketika pembangunan fasilitas umum digalakkan persoalan ganti rugi tanah yang sebenarnya menjadi para pemilik tanah lebih banyak diselesaikan dengan tangan besi. Sebut saja, misalnya, kasus pembangunan waduk Kedungombo. Hingga kini pun persoalan itu belum sepenuhnya tuntas. Tapi pemerintahan Orde Baru yang militeristik itu “menekan” para pemilik tanah yang sah dengan tuduhan mengerikan, subversi.

Di sisi lain, pemerintahan Orde Baru juga tak sepenuhnya menunjukan niat supremasi hukum. Dalam kasus itu, kekuasaan jauh lebih berwibawa ketimbang hukum itu sendiri. Padahal ketika itu ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok  Agraria yang notabene merupakan produk hukum jaman orde lama.

Dan baru 42 tahun lamanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 itu dikaji ulang dan terbit undang-undang baru yakni Undang-undang No 2 Tahun 2012. Undang-undang baru ini mengatur tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini kiranya bisa menjawab persoalan pengadaan tanah bagi pembangunan (negara) yang kerap berbenturan dengan hak kepemilikan tanah. Ujung-ujungnya adalah tuntutan ganti rugi yang sepadan.

Tapi masalah persoalan kepemilikan tanah kadung menjadi benang kusut. Ada banyak tanah-tanah negara yang kemudian menjadi kepemilikan pribadi seperti kasus-kasus yang terjadi di Jakarta dewasa ini. Ada banyak tanah-tanah untuk fasilitas umum kini menjadi fasilitas pribadi. Dan kini, buah persoalan masa lalu itu sedang dipetik. Pemerintah dihadapkan pada persoalan pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas umum. Sementara masyarakat sebagai pemilik sah—maupun illegal—berani untuk menyatakan keberatan jika hak-hak mereka dilanggar. Pendek kata, pembangunan untuk kepentingan umum itu menjadi tidak mudah.

Kini melalui UU No 2 Tahun 2012 diatur mekanisme pengadaan tanah yang transparan. Pertama Gubernur bersama instansi yang memerlukan tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan kepada masyarakat (pasal 26)

Kedua, terkait penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, instansi yang memerlukan tanah mengajukan Pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan. Lembaga Pertanahan inilah yang kemudian akan melakukan inventarisasi dan identifikasi kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menilai besar ganti rugi, memberikan ganti rugi dan melakukan penyerahan tanah itu kepada instansi yang membutuhkan. (pasal 27)

Ketiga, hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut kemudian diumumkan di kantor desa/kelurahan tempat pengadaan tanah itu dilakukan. Pihak yang berhak (pemilik atau pengguna tanah) bisa melakukan keberatan terhadap kajian tersebut setidaknya 14 hari kerja sejak diumumkan. (pasal 29)

Keempat, hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan (jika ada perubahan dan penolakan dari pihak yang berhak) digunakan sebagai dasar penentuan ganti rugi.

Kelima, Lembaga Pertanahan kemudian menetapkan Penilai untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan tanah. (pasal 31)

Keenam, penilaian besarnya ganti kerugian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi; tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pindah tempat, biaya alih profesi, dan biaya sisa properti)

Lalu apa bentuk ganti rugi yang diberikan?
Pasal 36 UU No 2 Tahun 2012 mengatur bahwa bentuk ganti kerugian itu dapat diberikan dalam bentuk; uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak.

Apabila kemudian tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah penetapan ganti rugi, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu 14 kerja setelah musyawarah penetapan ganti rugi. Pengadilan negeri akan memutus bentuk dan/ atau besarnya ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. Jika Pihak yang Berhak masih keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia paling lama 14 hari setelah putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung akan memutus masalah tersebut aling lama 30 hari sejak permohonan kasasi. Putusan MA adalah keputusan final sebagai dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

Dalam UU No 12 Tahun 2012 ini juga diatur mengenai hak dan kewajiban serta peran masyarakat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum (Bab VI Pasal 55). Hak masyarakat antara lain mengetahui rencana penyelenggaraan tanah dan memperoleh informasi mengenai pengadaan tanah. Sedangkan kewajiban dan peran masyarakat antara lain memberikan masukan secara lisan atau tulisan dan memberi dukungan penyelenggaraan pengadaan tanah.

Pada akhirnya pengetahuan tentang pengadaan tanah ini menjadi hal pokok yang harus diketahui masyarakat. Sebab bisa jadi di tempat Anda bermukim sekarang, akan dijadikan fasilitas umum oleh negara.

Identitas Buku
Judul: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Tahun Cetak: Juli 2014
Penerbit: Penerbit Medium. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : UU No 2 Tahun 2012: Ujung-ujungnya Masalah Ganti Rugi

0 komentar: