Saya masih tetap
perempuan bernama Arjuna. Ibu Jawa—Islam. Ayah Cina—Kristen. Supaya Anda juga
tak lupa, suami saya Jean-Claude van Damme yang namanya mengingatkan pada
bintang film laga. Tapi ia lelaki tua. Ia mantan pastor Jesuit. Kini dia insyaf
dan menjadi rasionil. Gara-gara ia tak tahan menanggung hidup selibat dengan
melulu melamuni organ-organ tubuh manusia yang paling rahasia.
Saya sungguh memahami
asasi perempuan. Pertama kewanitaan sebagai perempuan calon ibu. Kedua harkat
keorangan saya sebagai sebagai bangsa Indonesia.
Yah Indonesia yang
bhineka tunggal ika. Yang lagu kebangsaanya “Indonesia Raya” itu janggal.
Jangga karena lagu ini menurut Amir Pasaribu pada 1950an dinyatakan sebagai karya
plagiat. Janggal pula karena ada kalimat “di sanalah aku berdiri… ” dalam
penggal syair lagu kebangsaan itu. Mengapa bukan “di sinilah aku berdiri?”
Maka jangan prasangakai saya kalau saya merasa
lebih kena dan lebih afdal menyanyikan Indonesia Raya di Belanda ketimbang di
Indonesia sendiri. Coba saja camkan kata yang dipakai untuk menerangkan tempat
berdiri saya adalah di luar sana, bukan di dalam sini.
Nanti dua bulan lagi,
bilamana sudah berada di Belanda untuk kembali kulia, niscaya saya bakal
sungguh-sungguh menghayati kata “di sanalah”.
Tapi sekarang saya di
Bandung berbulan madu dengan suami saya yang usianya terpaut 45 tahun di atas
saya. Bandoeng is goed voor pas getroude paar. Di kota ini pula saya harus
belajar dari Kan Hok Hoei pasal ilmu Cina dalam urusan cinta-kasih-sayang
melalui ranjang. Guru tersebut adalah engkong saya.
Oh, ya, saya tidak mau
memakai ejaan lafal Hokkian antara Tiongkok dan Tionghoa—padahal saya tahu ayah
saya Tan tat Hien adalah Hokkian. Alasannya lembar masa silam berkaitan dengan
Hokkian.
Bagi saya sendiri,
kata Cina adalah khas bahasa Indonesia, dan China adalah bukan bahasa Indonesia
melainkan Inggirs. Kenapa pula kedutaan RRC memperkosa bahasa Indonesia dengan
menyuruh bangsa Indonesia mengganti lafal Melayu dengan lafal Inggris? Apa yang
dilakukan kedutaan RRC itu lebay.
Makanya saya heran,
aneh binti ajaib, siapa orang di belakang SBY yang membisiknya untuk membuat
Kepres No. 12/24 pada 14 Maret 2014, mengganti kembali Cina menjadi Tionghoa
dan Tiongkok seperti zaman apa yang disebut Orde Lama yang komunistis itu?
Sebagai perempuan
berdarah Cina dari garis silsilah ayah, saya merasa harus belajar lebih banyak
lagi soal Cina. Tentang seluk beluk sinologi, agar saya bangga mewarisi sejarah
bahasa sastranya, kedudayaannya, dan peradabannya.
Di atas itu adalah ringkasan alur dalam novel Perempuan Bernama Arjuna (2) yang saya ringkas
dan modifikasi kembali dari tulisan asli Remy Sylado. Dan paragraf terakhir
yang saya sebut adalah gambaran seluruh isi dalam novel itu yakni; bahasa,
sejarah, kebudayaan, dan peradaban Cina.
Membaca novel itu, saya seperti diajak piknik ke sudut-sudut
pengetahuan tentang Cina. Baik Cina di daratan sana maupun Cina yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu, bagi saya, membaca Perempuan Bernama Arjuna (2) seperti membaca sebuah ensikopedia
tentang Cina. Sebab di dalamnya banyak ditemukan pelbagai pengetahuan dari seni
lukis, jamu, tokoh Cina, hingga teknik-teknik bercinta ala Cina. Lengkap. Pokoknya,
edun suradun!
Sebagaimana saya katakan bahwa novel ini, novel ensiklopedik.
Karena itu novel tentu penyusunannya tidak afabetis melainkan berdasarkan alur
cerita percintaan Arjuna (25 tahun)—yang dalam beberapa hal seperti mengidap
electra complex—dengan pastor Jesuit Jean Claude Van Damme (60 tahun) yang insyaf
(yang murtad) keluar dari ordonya. Keduanya yang sedang menjalani bulan madu
diwajibkan oleh sebuah keyakinan tradisi untuk mempelajari semesta Cina.
Salah satu hal yang menarik, buat
saya, novel Perempuan Bernama Arjuna (2)
tidak tabu membicarakan seks. Seks dalam pengertian pengetahuan—yang menjadi ciri
khas Remy Sylado—hadir dalam novel ini. Bumbu inilah yang selalu menarik dari
novel-novel Remy. Kadang disampaikan dengan cara jenaka, lebih sering ditulis
dengan serius sehingga menjadikan kajian seks tidak melulu buka cawat dan
menyekutukan tubuh. Seks dalam Perempuan
Bernama Arjuna tidak sedang mengajak pembaca untuk berfantasi picisan
sebagaimana ada dalam cerita film softcore.
Sebaliknya seks dalam novel ini dijadikan sebagai bagian dari pengetahuan
dalam sebuah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Cina. Ini menarik. Bukan saja
karena tawaran pengetahuannya tapi juga tawaran tantangan untuk
mempraktikannya.
Satu yang harus dicatat, Remy
Sylado berhasil mengolah berjibun referensi fakta—yang sering disampaikan apa
adanya—menjadi sebuah fiksi. Fakta dan fiksi itu bukan menjadi pertentangan
tapi disatupadukan. Tapi di sisi lain, pembaca dengan mudah membedakan antara
yang fakta dan yang fiksi. Teknik bercerita macam ini menarik untuk dipelajari.
Sama menariknya ketika Jean
Calaude van Damme yang menyatakan siap mempelajari javanologi. Yang kemungkinan
Javanologi itu akan dihadirkan Remy Sylado dalam novel berikutnya…
Identitas Buku:
Judul: Perempuan Bernama Arjuna (2)
Penulis: Remy Sylado
Tahun Cetak: Juli 2014
Penerbit: Nuansa Cendekia. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)
0 komentar:
Post a Comment