rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

04 November 2014

Cina dalam Bingkai Sastra: Perempuan Bernama Arjuna 2


Saya masih tetap perempuan bernama Arjuna. Ibu Jawa—Islam. Ayah Cina—Kristen. Supaya Anda juga tak lupa, suami saya Jean-Claude van Damme yang namanya mengingatkan pada bintang film laga. Tapi ia lelaki tua. Ia mantan pastor Jesuit. Kini dia insyaf dan menjadi rasionil. Gara-gara ia tak tahan menanggung hidup selibat dengan melulu melamuni organ-organ tubuh manusia yang paling rahasia.

Saya sungguh memahami asasi perempuan. Pertama kewanitaan sebagai perempuan calon ibu. Kedua harkat keorangan saya sebagai sebagai bangsa Indonesia.

Yah Indonesia yang bhineka tunggal ika. Yang lagu kebangsaanya “Indonesia Raya” itu janggal. Jangga karena lagu ini menurut Amir Pasaribu pada 1950an dinyatakan sebagai karya plagiat. Janggal pula karena ada kalimat “di sanalah aku berdiri… ” dalam penggal syair lagu kebangsaan itu. Mengapa bukan “di sinilah aku berdiri?”

 Maka jangan prasangakai saya kalau saya merasa lebih kena dan lebih afdal menyanyikan Indonesia Raya di Belanda ketimbang di Indonesia sendiri. Coba saja camkan kata yang dipakai untuk menerangkan tempat berdiri saya adalah di luar sana, bukan di dalam sini.

Nanti dua bulan lagi, bilamana sudah berada di Belanda untuk kembali kulia, niscaya saya bakal sungguh-sungguh menghayati kata “di sanalah”.

Tapi sekarang saya di Bandung berbulan madu dengan suami saya yang usianya terpaut 45 tahun di atas saya. Bandoeng is goed voor pas getroude paar. Di kota ini pula saya harus belajar dari Kan Hok Hoei pasal ilmu Cina dalam urusan cinta-kasih-sayang melalui ranjang. Guru tersebut adalah engkong saya.

Oh, ya, saya tidak mau memakai ejaan lafal Hokkian antara Tiongkok dan Tionghoa—padahal saya tahu ayah saya Tan tat Hien adalah Hokkian. Alasannya lembar masa silam berkaitan dengan Hokkian.

Bagi saya sendiri, kata Cina adalah khas bahasa Indonesia, dan China adalah bukan bahasa Indonesia melainkan Inggirs. Kenapa pula kedutaan RRC memperkosa bahasa Indonesia dengan menyuruh bangsa Indonesia mengganti lafal Melayu dengan lafal Inggris? Apa yang dilakukan kedutaan RRC itu lebay.

Makanya saya heran, aneh binti ajaib, siapa orang di belakang SBY yang membisiknya untuk membuat Kepres No. 12/24 pada 14 Maret 2014, mengganti kembali Cina menjadi Tionghoa dan Tiongkok seperti zaman apa yang disebut Orde Lama yang komunistis itu?

Sebagai perempuan berdarah Cina dari garis silsilah ayah, saya merasa harus belajar lebih banyak lagi soal Cina. Tentang seluk beluk sinologi, agar saya bangga mewarisi sejarah bahasa sastranya, kedudayaannya, dan peradabannya.

Di atas itu adalah ringkasan alur dalam novel Perempuan Bernama Arjuna (2) yang saya ringkas dan modifikasi kembali dari tulisan asli Remy Sylado. Dan paragraf terakhir yang saya sebut adalah gambaran seluruh isi dalam novel itu yakni; bahasa, sejarah, kebudayaan, dan peradaban Cina.

Membaca novel itu, saya seperti diajak piknik ke sudut-sudut pengetahuan tentang Cina. Baik Cina di daratan sana maupun Cina yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, bagi saya, membaca Perempuan Bernama Arjuna (2) seperti membaca sebuah ensikopedia tentang Cina. Sebab di dalamnya banyak ditemukan pelbagai pengetahuan dari seni lukis, jamu, tokoh Cina, hingga teknik-teknik bercinta ala Cina. Lengkap. Pokoknya, edun suradun!

Sebagaimana saya katakan bahwa novel ini, novel ensiklopedik. Karena itu novel tentu penyusunannya tidak afabetis melainkan berdasarkan alur cerita percintaan Arjuna (25 tahun)—yang dalam beberapa hal seperti mengidap electra complex—dengan pastor Jesuit Jean Claude Van Damme (60 tahun) yang insyaf (yang murtad) keluar dari ordonya. Keduanya yang sedang menjalani bulan madu diwajibkan oleh sebuah keyakinan tradisi untuk mempelajari semesta Cina.

Salah satu hal yang menarik, buat saya, novel Perempuan Bernama Arjuna (2) tidak tabu membicarakan seks. Seks dalam pengertian pengetahuan—yang menjadi ciri khas Remy Sylado—hadir dalam novel ini. Bumbu inilah yang selalu menarik dari novel-novel Remy. Kadang disampaikan dengan cara jenaka, lebih sering ditulis dengan serius sehingga menjadikan kajian seks tidak melulu buka cawat dan menyekutukan tubuh. Seks dalam Perempuan Bernama Arjuna tidak sedang mengajak pembaca untuk berfantasi picisan sebagaimana ada dalam cerita film softcore. Sebaliknya seks dalam novel ini dijadikan sebagai bagian dari pengetahuan dalam sebuah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Cina. Ini menarik. Bukan saja karena tawaran pengetahuannya tapi juga tawaran tantangan untuk mempraktikannya.

Satu yang harus dicatat, Remy Sylado berhasil mengolah berjibun referensi fakta—yang sering disampaikan apa adanya—menjadi sebuah fiksi. Fakta dan fiksi itu bukan menjadi pertentangan tapi disatupadukan. Tapi di sisi lain, pembaca dengan mudah membedakan antara yang fakta dan yang fiksi. Teknik bercerita macam ini menarik untuk dipelajari.

Sama menariknya ketika Jean Calaude van Damme yang menyatakan siap mempelajari javanologi. Yang kemungkinan Javanologi itu akan dihadirkan Remy Sylado dalam novel berikutnya…

Identitas Buku:
Judul: Perempuan Bernama Arjuna (2)
Penulis: Remy Sylado
Tahun Cetak: Juli 2014
Penerbit: Nuansa Cendekia. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cina dalam Bingkai Sastra: Perempuan Bernama Arjuna 2

0 komentar: