rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

10 November 2014

Telaah Novel Remy Sylado Perempuan Bernama Arjuna 1 dan 2

Seks Akal Sehat dan Seks Mitos

Pendidikan seksualitas melalui novel. Ilustrasi: liveactionnews.org
Tema seksualitas dalam novel selalu hadir sebagai bumbu cerita. Kehadiran tema itu membuat pembaca tergugah, bergairah, dan bisa jadi gundah. 

Meskipun tema seksualitas bukan satu-satunya tema dalam novel Remy Sylado, Kita akan membahas soal seks berdasarkan sebuah teks yang tersedia di novel teranyarnya, Perempuan Bernama Arjuna 1 dan 2. 


Bagi saya, mungkin juga Anda, ini bahasan menarik. Sebab seks berkaitan sangat erat dengan naluriah manusia. Seks itu universal yang menjadi bagian dari mahkluk berkelamin di belahan dunia mana pun. Apalagi penulisanya Remy Sylado—yang terkadang “nakal” bicara soal yang satu ini.

Sedari halaman awal kita disuguhi penggambaran seorang tokoh dosen teologi dari ordo Jesuit bernama Jan Claude van Damme—“yang kelihatannya kebanci-bancian tapi ternyata seorang koboi heunceut yang liar di atas ranjang.” (hlm. 10). Dan “korban kecanduan” ulah si pastor Jesuit itu  adalah mahasiswinya asal Indonesia berdarah Tionghoa-Jawa, Kristen-Islam: si Arjuna.

Dari teks itu saja, kita tahu, Remy sedang mendobrak kesadaran. Ordo Jesuit dalam kesadaran umum orang adalah para biarawan Katolik yang cendikiawan. Tapi di teks itu jelas tergambarkan mereka “diam-diam” golongan lelaki yang matanya ke “ranjang” juga. Remy tidak serta merta sedang menyerang agama dan praktik beragama, lebih tepat, ia sedang memaparkan tentang kontradiksi. Yang barangkali kontradiksi itu senyatanya ada, mungkin ada, atau semata “imajinasi”. Pemaparan-pemaparan Kontradiksi-kontradiksi inilah yang saya sebut sebagai “kenakalan” Remy Sylado. Dengan kenakalan pemaparan kontradiksi antara kenyataan fakta dan fiksi itu Remy mendudukkan seksualitas sebagai hal yang kodrati dan manusiawi.
Di sinilah menariknya pemikiran Remy Sylado mengenai seks. Ia tidak sedang picisan menggambarkan seks semata imajinasi jorok sebagaimana umum ditawarkan film softcore. Atau imajinasi sarkasme dalam film-film dewasa hardcore. Remy mengajak pembacanya untuk menyingkap tabut-tabut kusut dalam pemikiran manusia mengenai seks. Bahwa seks bukan dipandang sebagai yang sakral atau profan, tapi sebagai bagian dari pengetahuan. Seks yang dipahami dengan akal sehat dan rasa etika.

Seks Akal Sehat
Sampul buku Perempuan Bernama Arjuna 1
Pemahaman seksual ala Barat, dalam pandangan Remy, adalah sesuatu yang bebas nilai dan scientific. Sebagai bagian pengetahuan, seks dipelajari, diteliti, disimpulkan dari hal pertama yang bersifat fisik. Kita tahu ini dari ungkapan Arjuna di novel Perempuan Bernama Arjuna halaman :
Dari pengetahuan tentang piranti seks yang sudah menyatu dalam tubuh saya selama 25 tahun – walaupun saya sering waswas kalau-kalau sperma kekasih mukim lama-lama di rahim saya sampai menjadi janin – saya tetap merasa asyik membahas kelamin saya ini dari ilmu biologi. Resminya secara kebahasaan, vagina adalah sebuah katabenda, nyaris seperti imajinasi sebuah lubang belut di tanah persawahan, yang didesain demikian rupa oleh sang maha kuasa, sebagai saluran kelamin yang pangkalnya berada di leher rahim dan bermuara di vulva. Saluran ini panjangnya sekitar 7 cm. Di ujung luar lubang ada selaput yang disebut hymen, yang biasa sobek dan mengeluarkan darah ketika pertama kali dimasuki oleh sejenis benda ajaib mirip belut zonder mata tapi pintar. Hymen itu hanya ada dalam sejarah manusia. Kera dan monyet pun yang dibatasi oleh missing link menurut Charles Darwin3, tidak memiliki hymen.” (hlm. 9)

Hymen yang dialihbahasakan ke Indonesia menjadi “selaput dara” adalah bagian dari pengetahuan Barat—yang sebegitu detil mempelajari anatomi manusia lantas membandingkannya dengan anatomi primata terdekat, monyet. Di sini, di Indonesia,  selaput tipis itu menjadi bagian dari mitos keperawanan yang sakral. Yang bisa saja sobek oleh pelbagai hal di luar penyatuan lingga dan yoni.

Seks Sebagai Mitos
Sampul buku Perempuan Bernama Arjuna 2
Di Timur, dengan contoh Cina, Remy menggambarkan pengetahuan lain soal seks. Ia mengambil contoh petuah Cina soal seks yang disebut xing bie.
“Di Cina, xing-bie atau ‘seks’ merupakan bagian sejarah dinasti yang penting dalam menemukan dan merumuskan keindahan yang langgeng. Kaisar-kaisar Cina ingin terus bisa hidup seribu tahun, dan karenanya dibuat ramuan-ramuan mujarab untuk menyempurnakan ‘seni kamar tidur’-nya itu.” (hlm. 203)

Seks di Timur dimaknai sebagai keindahan. Ia, seks itu, dipelajari untuk diperoleh keabadian keindahan itu. Dengan demikian bisa jadi cara memperoleh pengetahuan di Timur nampak absurd. Seks yang demikian terselubung di antara mitos-mitos yang terus diproduksi dan bahkan kadang terasa konyol:
“…Kaisar Shih Tsung dan Kaisar Kuan Tsung di zaman Dinasti Ming, mati karena menenggak ramuan untuk membuatnya ereksi. Kemudian Kaisar Mu Tsung di zaman dinasti yang sama, malah ereksi berhari-hari setelah meminum ramuan untuk ‘kesehatan’-nya itu. Akibat ereksinya yang demikian lama maka sang kaisar pun terpaksa mengurung diri di kamar.”

Kita bisa bayangkan betapa kasihannya kaisar Mu Tsung karena obsesinya pada keindahan abadi. Ia korban dari malapraktik para tabibnya. Dan sampai kini obat-obat kuat ala Cina itu sampai juga di Indonesia: ada banyak korban dari sebuah mitos tentang seksualitas.

Perkara seks ini masih belanjut dalam Perempuan Bernama Arjuna 2. Dalam novel keduanya ini Remy memaparkan bagaimana seks di Timur adalah bagian dari rasa keindahan dan cinta. Hal ini nampak bagaimana orang Timur mengekspresikan seks dengan bahasa yang seharusnya sopan dan lembut.

 “…istilah xiang jiao (bersetubuh) kadarnya lebih sopan, terhormat, beradab, dan berbudaya, ketimbang sejumlah kata yang dipakai secara lisan oleh banyak orang Indonesia di pelbagai kota antero negeri. Kata-kata yang dipakai lisan oleh orang-orang Indonesia tersebut mengarah pada bahasa sosial yang justru tidak sosial dan bahkan kasar dan primitif serta lepas dari isyarat-isyarat objektif etika.Taruh misalnya di Bandung sini, istilah itu disebut ‘ngewe’. Di Surabaya disebut ‘ngencuk’. Di Makassar disebut ‘gandrang’. Di Manado disebut ‘cuki’. Di Jakarta disebut ‘ngentot’.” (hlm. 17)

Seks dalam ungkapan orang Indonesia seperti itu, menurut Remy:
“..memperjelas sifat kesemena-menaan dan bahkan kekurangajaran yang entah hewan entah setan dalam naluri lelaki, menjadikan perempuan sebagai objek pelampiasan nafsu seksnya” (hlm. 2)

Ungkapan kebahasaam soal seks di Indonesia dipengaruhi oleh sopansantun dan agama-agama samawi yang bermuasal dari budaya Semit di mana lelaki berifat patriarkal yang mengakibatkan perempaun menjadi second sex atau “kanca wingking” dalam pengetahuan Jawa.

Tapi posisi perempuan yang demikian, menurut Remy, sifatnya kodrati:
 “…perempuan tidak pernah menjadi sempurna sebagai wanita tanpa hadirnya seorang lelaki dalam hidupnya. Saya sadar, adanya seorang lelaki dalam hidup perempuan, akan membuat wanita menjadi istri, menjadi nyonya, menjadi ibu, meneteki anak setelah lebih dulu diteteki suami.” (hlm, 23).

Batasan moralitas dan akal sehat yang tidak boleh dilakukan adalah ketika lelaki sebagai subyek yang menjadikan perempuan sebagai obyek.

Pada kesimpulannya Remy mengajak pembacanya pada pikir rasional dalam urusan ngesek. Di sisi lain seks juga harus dipahami sebagai cinta dan rasa. Remy dengan demikian menggugah kesadaran yang selama ini terlalu kaku dalam menerima ajaran moral baik dari agama maupun paham turunan. Atau sebaliknya terkadang terlalu bebas memahami seks sehingga mengabaikan cinta rasa dan etika.

Hadirnya novel ini memungkinkan kita sebagai manusia yang bertanggungjawab atas perilaku seksual menjadikan akal sehat dan nurani sebagai pijakan hidup. Satu lagi, membuat manusia membuka tabut-tabut kemunafikannya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Telaah Novel Remy Sylado Perempuan Bernama Arjuna 1 dan 2

0 komentar: