rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

21 May 2008

Belanda Menguras Habis Kedu!!!!


Semenjak Perang Jawa berakhir pada 1830, Belanda semakin keranjingan mengeksploitasi masyarakat Kedu. Setahun setelah kekalahan Diponegoro itu, Gubernur Jendral Hindia Belanda Van Den Bosch pada 1831 langsung menerapkan Tanam Paksa. Penerapan kebijakan eksplotatif ini merupakan strategi Belanda untuk mendapatkan dana setelah kas mereka habis terkuras oleh Perang Jawa. Seluruh Jawa, termasuk dataran lembar subur di antara Merapi-Sumbing-Sindoro tak luput dari eksploitasi ini.

Sebelum penerapan tanam paksa ini benar-benar dimulai, setelah perang usai, masyarakat Kedu (Magelang dan Temanggung) masih harus memperbaiki lahan pertanian mereka yang porak poranda akibat perang. Perang Diponegoro ini mengakibatkan hampirn ¾ lahan pertanian di Kedu rusak. Meski mengetahui hal ini, Belanda tetap nekat memaksa rakyat untuk menanam tanaman pangan. Kedu yang sedari Mataram Kuno merupakan penghasil beras diperas habis. Eksploitasi lain juga terjadi pada pertanian tembakau—yang merupakan komoditi utama Kedu.
Di saat bersamaan Belanda juga memberlakukan kerja wajib (rodi) bagi rakyat Kedu. Beban ini sangat memberatkan masyarakat Temanggung. Hampir seluruh tenaga tercurah untuk kerja wajib dalam bidang militer, pembuatan infrastruktur, dan pos, pekerja tanpa upah di kantor pemerintah dan rumah pejabat Belanda. Beban itu masih ditambahi dengan aturan Belanda yang mewajibkan seluruh rakyat harus menjual kopi kepada pemerintah Kolonial. Aturan ini secara resmi diberlakukan di Temanggung (Kedu) pada 1832.
Untuk mendukung perdagangan kopi dan hasil bumi lain, Belanda membuat sarana-sarana pendukung. Pada 1835, Belanda mendirikan penjanggolan (terminal) angkutan orang dan barang. Ada 11 pejanggolan yang didirikan. Seluruh pejanggolan dilengkapi 57 ekor kuda dan 295 orang kuli angkut. Stanplat ini tersebar di Temanggung dan Magelang. Dengan keberadaan pejanggolan ini semakin mudah bagi Belanda untuk melakukan distribusi barang. Tapi bagi rakyat Kedu, pejanggolan justru makin menambah beban.
Ketika pejanggolan ini didirikan, Temanggung baru saja setahun berdiri sebagai Kabupaten. Bupatinya, Raden Tumenggung Aryo Djojo Negoro, anak Raden Soemodilogo yang memimpin Temanggung sejak 1834-1848. Bupati bau ini seperti tak berdaya ketika Belanda mengerahkan seluruh tenaga rakyat Temanggung untuk membuat pelbagai sarana pendukung perdagangan. Masyarakat Temanggung saat itu tak hanya dibebani dengan kerja rodi tapi juga pajak.
Setahun berikutnya setelah pembangunan pejanggolan, pada 1836 Belanda membangun sarana pos di Kedu. Kereta pos dan juga pos dibangun di ibukota Temanggung dan Magelang. Namun, tetap saja, tenaga pengiriman pos ini mengerahkan tenaga rakyat.
Beban penerapan kerja rodi, pemungutan pajak, dan juga tanam paksa kepada masyarakat ini kian bertambah manakala pada 1845 Temanggung dilanda tifus. Kondisi fisik yang buruk akibat seluruh tenaga dikerahkan untuk kepentingan Belanda menyebabkan banyak penduduk mudah terserang penyakit. Bencana ini pun menjangkiti Temanggung dan sekitarnya selama hampir 3 tahun. Akibat wabah tifus ini menyebabkan kurang lebih 47.931 orang meninggal. Akibat bencana ini pula banyak penduduk yang meninggalkan Temanggung. (hlm. 144).
Namun mengetahui bencana ini Belanda menutup mata. Bahkan Belanda masih mengerahkan tenaga rakyat dalam pembuatan benteng Willem I di Ambarawa. Mengetahui bencana ini, pada 1847, Bupati Temanggung, Raden Tumenggung Hollan Sumodilogo terang-terangan menyatakan keberatannya atas pengerahan pekerja untuk membuat benteng di Ambarawa yang dilakukan Belanda. Keberatan ini disampaikan kepada kolonial sebab rakyat Temanggung banyak yang mati dalam pengerahan pekerjaan berat tersebut.
Belanda tetap tak peduli dengan seruan Bupati Temanggung. Belanda bahkan menambahi beban rakyat dengan pembangunan jembatan Progo. Pembangunan jembatan yang mengggunakan kayu jati ini dimulai pada 1847 dan baru selesai pada 1853. Pembangunan jembatan yang cukup lama ini dikarenakan wilayah Temanggung tak banyak menyediakan lahan jati. Untuk itu, rakyat dikerahkan untuk mengusung kayu jati di luar Temanggung yang jaraknya berkilo-kilo sampai ke tempat jembatan akan dibangun. Bersamaan dengan pembangunan jembatan Progo ini, sebagian rakyat Temanggung yang lain dilibatkan dalam pembangunan jembatan Krasak, perbatasan Kedu dan Yogyakarta.
Sedangkan di bidang pertanian, Belanda terus menggenjot hasil kopi dan hasil sawah di Temanggung. Tapi lagi-lagi Belanda berlaku curang. Belanda mengembalikan lahan tegal yang tak lagi subur kepada rakyat pada 1854. Pohon-pohon kopi yang tak lagi berbuah ditebang oleh perintah Belanda dan setelah itu lahan baru diserahkan kepada rakyat untuk ditanami bahan pangan. Curangnya lagi, Belanda tetap meminta hasil panen tanaman pangan ini.
Hasil pertanian sawah pun coba diperas hasilnya. Untuk lebih menggejot hasil sawah ini, pada 1869. Asisten Residen Kedu, I.W. van Rijk memerintahkan membuat bendungan di Kali Kuwas Temanggung dengan mengerahkan tenaga rakyat. Akibat pembuatan bendungan kali kuwas ini tenaga rakyat semakin habis terkuras. Mereka tak sanggup lagi menggarap lahan pertanian mereka. Akibatnya lahan pertanian terbengkelai. Kebijakan nekat Assisten Residen yang justru menyebabkan hasil pertanian menjadi merosot ini tidak disetujui oleh Gubernur Jendral Belanda, Pieter Meijer. Pieter Meijer akhirnya memberhentikan van Rijk dari jabatan Assisten Residen Kedu di tahun yang sama. (Djuliati Siroyo, 2000: 151)
Setahun setelah proyek gagal itu, Belanda mengalihkan pada proyek pembuatan jalan. Jalan-jalan yang menghubungkan daerah-daerah penghasil hasil bumi seperti Muntung, Kaloran, dan Parakan diperbaiki pada 1870. Pada tahun ini jalan-jalan yang sebelumnya hanya bias dilewati kuda, kemudian, diperlebar dan diperkeras dengan batu dan kerikil selebar 2 meter. Sedangkan jalan Pos--jalan patroli militer Belanda--seperti di Pingit yang menghubungkan Ambarawa dan Magelang diperlebar menjadi 6 meter.
Pembangunan jalan ini, sebenarnya, dimaksudkan untuk mendukung aktivitas perdagangan dan militer Belanda. Rakyat dilibatkan penuh dalam pembuatan jalan ini. Mereka tak hanya mengambil batu dan menatanya tapi juga dilibatkan dalam pemaprasan bukit seperti yang terjadi di Pingit. Pekerjaan tersebut semakin berat karena Belanda tak menyediakan bantuan alat. Sebagai mandor pembangunan ini adalah para demang yang mereka tak terlibat sama sekali dalam kerja keras ini.
Setelah Belanda menilai pembangunan-pembangunan cukup mendukung perdangan dan militer mereka, kebijakan lebih diperlunak. Pada 1882 sebagian Kerja wajib umum dihapuskan. Rakyat tak lagi dilibatkan secara penuh dalam pembangunan. Namun mereka tetap dikenai kewajiban memelihara bangunan-bangunan tadi. Kebijakan ini semakin lunak mana kala pada 1887 seluruh kerja rodi itu dihapus. (hlm. 267- 292). Semenjak itu Belanda menyerahkan segala pekerjaan pembangunan pada perusahaan-perusahaan swasta seperti pembangunan jalur rel kereta api Yogyakarta-Magelang-Temanggung-Parakan yang dikerjakan oleh NIS ((Nederland Indische Spoorweg) pada 1905.
Meski pekerjaan rodi dihapus, pada kitaran 1890 Belanda membuat kebijakan lain dengan mengirimkan tenaga kerja ke Suriname, Negara jajahan Belanda di benua Amerika. Pada tahun ini sekitar 32.986 orang “TKI” dari Jawa dibawa ke Suriname. Temanggung pun tak luput dari pengiriman “TKI” ini. Sedikitnya 300 orang Temanggung dibawa ke Suriname untuk bekerja di perkebunan. Rata-rata tenaga kerja dari Temanggung ini perempuan, mereka membawa anak beserta keluarga mereka. Belanda menguras habis Kedu!!!!
Judul: Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Karisidenan Kedu 1800-1890
Pengarang: A.M. Djuliati Suroyo
Tahun Terbit: 2000

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Belanda Menguras Habis Kedu!!!!

3 komentar:

nad said...

hum, bukunya membakar ya, data-datanya banyak lagi, siapa tahu, abis baca buku ini bisa bikin novel tandingannya eyang Pram, heheu

htanzil said...

buku ini terbitan mana ya?

Anonymous said...

Syahdan
( Penulis : Anies Septivirawan )

Syahdan,
lukapun beringsut pergi
menyisakan sebongkah
cemas di beranda hati

Blitar, 2006

MONOLOG

Dis udut sepi kamar
roh sunyi nasib mencekam mendera tapa hatiku
yang sangsi

KUATRIN HITAM

tuba sempurna di dalam tubuhku menulis
isyarat kematian kendati
namaku tak sudi
terseret ke dalam obituari

KEMARIN

Kemarin di album kutemukan
wajahmu yang masih lugu
dik...

IN MEMORIAM

adalah pohon tua itu masa lalu kita
akar-akarnya kuat sungguh
menghisap
darah kita
betapa memotongnya?

Banyuwangi, 2000