Pada jaman pemerintahan Orde
Baru, ketika pembangunan fasilitas umum digalakkan persoalan ganti rugi tanah
yang sebenarnya menjadi para pemilik tanah lebih banyak diselesaikan dengan
tangan besi. Sebut saja, misalnya, kasus pembangunan waduk Kedungombo. Hingga kini
pun persoalan itu belum sepenuhnya tuntas. Tapi pemerintahan Orde Baru yang
militeristik itu “menekan” para pemilik tanah yang sah dengan tuduhan
mengerikan, subversi.
Di sisi lain, pemerintahan Orde
Baru juga tak sepenuhnya menunjukan niat supremasi hukum. Dalam kasus itu,
kekuasaan jauh lebih berwibawa ketimbang hukum itu sendiri. Padahal ketika itu
ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang notabene merupakan produk hukum
jaman orde lama.
Dan baru 42 tahun lamanya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 itu dikaji ulang dan terbit undang-undang baru yakni
Undang-undang No 2 Tahun 2012. Undang-undang baru ini mengatur tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini kiranya bisa
menjawab persoalan pengadaan tanah bagi pembangunan (negara) yang kerap
berbenturan dengan hak kepemilikan tanah. Ujung-ujungnya adalah tuntutan ganti
rugi yang sepadan.
Tapi masalah persoalan kepemilikan
tanah kadung menjadi benang kusut. Ada banyak tanah-tanah negara yang kemudian
menjadi kepemilikan pribadi seperti kasus-kasus yang terjadi di Jakarta dewasa
ini. Ada banyak tanah-tanah untuk fasilitas umum kini menjadi fasilitas
pribadi. Dan kini, buah persoalan masa lalu itu sedang dipetik. Pemerintah
dihadapkan pada persoalan pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas umum. Sementara
masyarakat sebagai pemilik sah—maupun illegal—berani untuk menyatakan keberatan
jika hak-hak mereka dilanggar. Pendek kata, pembangunan untuk kepentingan umum
itu menjadi tidak mudah.
Kini melalui UU No 2 Tahun 2012
diatur mekanisme pengadaan tanah yang transparan. Pertama Gubernur bersama
instansi yang memerlukan tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan kepada
masyarakat (pasal 26)
Kedua, terkait penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum, instansi yang memerlukan tanah mengajukan Pelaksanaan
Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan. Lembaga Pertanahan inilah yang kemudian
akan melakukan inventarisasi dan identifikasi kepemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah, menilai besar ganti rugi, memberikan ganti rugi dan melakukan
penyerahan tanah itu kepada instansi yang membutuhkan. (pasal 27)
Ketiga, hasil inventarisasi dan
identifikasi tersebut kemudian diumumkan di kantor desa/kelurahan tempat
pengadaan tanah itu dilakukan. Pihak yang berhak (pemilik atau pengguna tanah)
bisa melakukan keberatan terhadap kajian tersebut setidaknya 14 hari kerja
sejak diumumkan. (pasal 29)
Keempat, hasil pengumuman atau
verifikasi dan perbaikan (jika ada perubahan dan penolakan dari pihak yang berhak)
digunakan sebagai dasar penentuan ganti rugi.
Kelima, Lembaga Pertanahan
kemudian menetapkan Penilai untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan tanah.
(pasal 31)
Keenam, penilaian besarnya ganti
kerugian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi; tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
kerugian lain yang dapat dinilai (kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pindah
tempat, biaya alih profesi, dan biaya sisa properti)
Lalu apa bentuk ganti rugi yang
diberikan?
Pasal 36 UU No 2 Tahun 2012
mengatur bahwa bentuk ganti kerugian itu dapat diberikan dalam bentuk; uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang
disetujui kedua belah pihak.
Apabila kemudian tidak terjadi
kesepakatan dalam musyawarah penetapan ganti rugi, Pihak yang Berhak dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu 14 kerja
setelah musyawarah penetapan ganti rugi. Pengadilan negeri akan memutus bentuk
dan/ atau besarnya ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya
pengajuan keberatan. Jika Pihak yang Berhak masih keberatan dengan putusan Pengadilan
Negeri bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia paling lama
14 hari setelah putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung akan memutus masalah
tersebut aling lama 30 hari sejak permohonan kasasi. Putusan MA adalah
keputusan final sebagai dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang
mengajukan keberatan.
Dalam UU No 12 Tahun 2012 ini
juga diatur mengenai hak dan kewajiban serta peran masyarakat dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum (Bab VI Pasal 55). Hak masyarakat antara lain
mengetahui rencana penyelenggaraan tanah dan memperoleh informasi mengenai
pengadaan tanah. Sedangkan kewajiban dan peran masyarakat antara lain
memberikan masukan secara lisan atau tulisan dan memberi dukungan
penyelenggaraan pengadaan tanah.
Pada akhirnya pengetahuan tentang
pengadaan tanah ini menjadi hal pokok yang harus diketahui masyarakat. Sebab bisa
jadi di tempat Anda bermukim sekarang, akan dijadikan fasilitas umum oleh
negara.
Judul: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Tahun Cetak: Juli 2014
Penerbit: Penerbit Medium. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)
0 komentar:
Post a Comment