Seks
Akal Sehat dan Seks Mitos
![]() |
Pendidikan seksualitas melalui novel. Ilustrasi: |
Tema seksualitas dalam novel selalu hadir sebagai bumbu cerita. Kehadiran tema itu membuat pembaca tergugah, bergairah, dan bisa jadi gundah.
Meskipun tema seksualitas bukan satu-satunya tema dalam novel Remy Sylado, Kita akan membahas soal
seks berdasarkan sebuah teks yang tersedia di novel teranyarnya, Perempuan Bernama Arjuna 1 dan 2.
Bagi saya, mungkin juga Anda, ini bahasan menarik. Sebab seks berkaitan sangat erat dengan naluriah manusia. Seks itu universal yang menjadi bagian dari mahkluk berkelamin di belahan dunia mana pun. Apalagi penulisanya Remy Sylado—yang terkadang “nakal” bicara soal yang satu ini.
Sedari halaman awal kita
disuguhi penggambaran seorang tokoh dosen teologi dari ordo Jesuit bernama Jan
Claude van Damme—“yang kelihatannya kebanci-bancian tapi
ternyata seorang koboi heunceut yang liar di atas ranjang.” (hlm. 10). Dan “korban kecanduan” ulah si pastor Jesuit itu adalah mahasiswinya asal Indonesia berdarah
Tionghoa-Jawa, Kristen-Islam: si Arjuna.
Dari teks itu saja, kita
tahu, Remy sedang mendobrak kesadaran. Ordo Jesuit dalam kesadaran umum orang
adalah para biarawan Katolik yang cendikiawan. Tapi di teks itu jelas
tergambarkan mereka “diam-diam” golongan lelaki yang matanya ke “ranjang” juga.
Remy tidak serta merta sedang menyerang agama dan praktik beragama, lebih
tepat, ia sedang memaparkan tentang kontradiksi. Yang barangkali kontradiksi
itu senyatanya ada, mungkin ada, atau semata “imajinasi”. Pemaparan-pemaparan
Kontradiksi-kontradiksi inilah yang saya sebut sebagai “kenakalan” Remy Sylado.
Dengan kenakalan pemaparan kontradiksi antara kenyataan fakta dan fiksi itu
Remy mendudukkan seksualitas sebagai hal yang kodrati dan manusiawi.
Di sinilah menariknya
pemikiran Remy Sylado mengenai seks. Ia tidak sedang picisan menggambarkan seks
semata imajinasi jorok sebagaimana umum ditawarkan film softcore. Atau imajinasi sarkasme dalam film-film dewasa hardcore. Remy mengajak pembacanya untuk
menyingkap tabut-tabut kusut dalam pemikiran manusia mengenai seks. Bahwa seks
bukan dipandang sebagai yang sakral atau profan, tapi sebagai bagian dari
pengetahuan. Seks yang dipahami dengan akal sehat dan rasa etika.
Seks Akal Sehat
![]() |
Sampul buku Perempuan Bernama Arjuna 1 |
Pemahaman seksual ala
Barat, dalam pandangan Remy, adalah sesuatu yang bebas nilai dan scientific. Sebagai bagian pengetahuan,
seks dipelajari, diteliti, disimpulkan dari hal pertama yang bersifat fisik.
Kita tahu ini dari ungkapan Arjuna di novel Perempuan
Bernama Arjuna halaman :
“Dari pengetahuan
tentang piranti seks yang sudah menyatu dalam tubuh saya selama 25 tahun – walaupun saya sering waswas
kalau-kalau sperma kekasih mukim lama-lama di rahim saya sampai menjadi janin –
saya tetap merasa asyik membahas kelamin saya ini dari ilmu biologi. Resminya
secara kebahasaan, vagina adalah sebuah katabenda, nyaris seperti imajinasi sebuah
lubang belut di tanah persawahan, yang didesain demikian rupa oleh sang maha
kuasa, sebagai saluran kelamin yang pangkalnya berada di leher rahim dan
bermuara di vulva. Saluran ini
panjangnya sekitar 7 cm. Di ujung luar lubang ada selaput yang disebut hymen, yang biasa sobek dan mengeluarkan
darah ketika pertama kali dimasuki oleh sejenis benda ajaib mirip belut zonder
mata tapi pintar. Hymen itu hanya ada dalam sejarah manusia. Kera dan monyet
pun yang dibatasi oleh missing link
menurut Charles Darwin3,
tidak memiliki hymen.” (hlm. 9)
Hymen yang dialihbahasakan ke Indonesia menjadi
“selaput dara” adalah bagian dari pengetahuan Barat—yang sebegitu detil
mempelajari anatomi manusia lantas membandingkannya dengan anatomi primata
terdekat, monyet. Di sini, di Indonesia,
selaput tipis itu menjadi bagian dari mitos keperawanan yang sakral.
Yang bisa saja sobek oleh pelbagai hal di luar penyatuan lingga dan yoni.
Seks
Sebagai Mitos
![]() |
Sampul buku Perempuan Bernama Arjuna 2 |
Di Timur, dengan contoh Cina, Remy menggambarkan
pengetahuan lain soal seks. Ia mengambil contoh petuah Cina soal seks yang
disebut xing bie.
“Di Cina, xing-bie
atau ‘seks’ merupakan bagian sejarah dinasti yang penting dalam menemukan dan
merumuskan keindahan yang langgeng. Kaisar-kaisar Cina ingin terus bisa hidup
seribu tahun, dan karenanya dibuat ramuan-ramuan mujarab untuk menyempurnakan
‘seni kamar tidur’-nya itu.” (hlm. 203)
Seks di Timur dimaknai sebagai keindahan. Ia,
seks itu, dipelajari untuk diperoleh keabadian keindahan itu. Dengan demikian
bisa jadi cara memperoleh pengetahuan di Timur nampak absurd. Seks yang
demikian terselubung di antara mitos-mitos yang terus diproduksi dan bahkan
kadang terasa konyol:
“…Kaisar Shih Tsung dan Kaisar Kuan Tsung di zaman
Dinasti Ming, mati karena menenggak ramuan untuk membuatnya ereksi. Kemudian
Kaisar Mu Tsung di zaman dinasti yang sama, malah ereksi berhari-hari setelah
meminum ramuan untuk ‘kesehatan’-nya itu. Akibat ereksinya yang demikian lama
maka sang kaisar pun terpaksa mengurung diri di kamar.”
Kita bisa bayangkan betapa kasihannya kaisar Mu Tsung
karena obsesinya pada keindahan abadi. Ia korban dari malapraktik para
tabibnya. Dan sampai kini obat-obat kuat ala Cina itu sampai juga di Indonesia:
ada banyak korban dari sebuah mitos tentang seksualitas.
Perkara seks ini masih belanjut dalam Perempuan Bernama Arjuna 2. Dalam
novel keduanya ini Remy memaparkan bagaimana seks di Timur adalah bagian dari
rasa keindahan dan cinta. Hal ini nampak bagaimana orang Timur mengekspresikan seks
dengan bahasa yang seharusnya sopan dan lembut.
“…istilah xiang
jiao (bersetubuh) kadarnya lebih sopan, terhormat, beradab,
dan berbudaya, ketimbang sejumlah kata yang dipakai secara lisan oleh banyak
orang Indonesia di pelbagai kota antero negeri. Kata-kata yang dipakai lisan
oleh orang-orang Indonesia tersebut mengarah pada bahasa sosial yang justru
tidak sosial dan bahkan kasar dan primitif serta lepas dari
isyarat-isyarat objektif etika.Taruh misalnya di Bandung sini, istilah itu
disebut ‘ngewe’. Di Surabaya disebut ‘ngencuk’. Di Makassar disebut ‘gandrang’.
Di Manado disebut ‘cuki’. Di Jakarta disebut ‘ngentot’.”
(hlm. 17)
Seks dalam ungkapan orang
Indonesia seperti itu, menurut Remy:
“..memperjelas
sifat kesemena-menaan dan bahkan kekurangajaran yang entah hewan entah setan
dalam naluri lelaki, menjadikan perempuan sebagai objek pelampiasan nafsu
seksnya” (hlm. 2)
Ungkapan kebahasaam soal
seks di Indonesia dipengaruhi oleh sopansantun dan agama-agama samawi yang
bermuasal dari budaya Semit di mana lelaki berifat patriarkal yang
mengakibatkan perempaun menjadi second
sex atau “kanca wingking” dalam pengetahuan Jawa.
Tapi posisi perempuan
yang demikian, menurut Remy, sifatnya kodrati:
“…perempuan tidak pernah menjadi sempurna sebagai
wanita tanpa hadirnya seorang lelaki dalam hidupnya. Saya sadar, adanya seorang
lelaki dalam hidup perempuan, akan membuat wanita menjadi istri, menjadi
nyonya, menjadi ibu, meneteki anak setelah lebih dulu diteteki suami.”
(hlm, 23).
Batasan
moralitas dan akal sehat yang tidak boleh dilakukan adalah ketika lelaki
sebagai subyek yang menjadikan perempuan sebagai obyek.
Pada
kesimpulannya Remy mengajak pembacanya pada pikir rasional dalam urusan ngesek. Di sisi lain seks juga
harus dipahami sebagai cinta dan rasa. Remy dengan demikian menggugah kesadaran
yang selama ini terlalu kaku dalam menerima
ajaran moral baik dari agama maupun paham turunan. Atau sebaliknya terkadang terlalu bebas
memahami seks sehingga mengabaikan cinta rasa dan etika.
Hadirnya
novel ini memungkinkan kita sebagai manusia yang bertanggungjawab atas perilaku
seksual
menjadikan akal sehat dan nurani sebagai pijakan hidup. Satu lagi, membuat
manusia membuka tabut-tabut
kemunafikannya.
0 komentar:
Post a Comment