Jangan-jangan karena TNI AL
kebingungan memilih nama kapal baru, dipilihlah nama Usman-Harun. Sebab dari
147 pahlawan yang terdaftar di Kementerian Sosial, pahlawan nasional dari TNI
Angkatan Laut jumlahnya bisa dihitung anak di Pendidikan Anak Usia Dini: (1) RE
Martadinata, (2) Yos Sudarso, (3) John Lie, dan (4) Usman bin Muhammad Ali (5)Harun
bin Said. Tiga nama terakhir ini yang belum dipakai untuk menamai nama kapal
milik TNI AL. Seperti diketahui selama ini penamaan kapal di AL diimpor dari
Pahlawan Pergerakan dan pahlawan dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan
Kepolisian. Sebut saja misal, KRI Ki Hajar Dewantara (pahlawan pergerakan), KRI
Ahmad Yani (AD), KRI Abdul Halim Perdanakusuma (AU), dan KRI Karel Satsuit Tubun
(Kepolisian).
Barangkali inilah saatnya bagi
TNI AL untuk menamai kapal perang mereka dari kesatuan mereka sendiri. Sebab dalam
catatan sejarah belum pernah didengar peranan Satsuit Tubun menjaga wilayah
laut, kecuali dia meninggal karena peluru pasukan penculik AH Nasution. Oleh
karena itulah saya pikir cukup syah dan meyakinkan apabila kemudian TNI AL
menamai kapal korvet mereka dengan nama John Lie dan Usman-Harun. Korvet adalah
kapal dengan tugas melakuan patroli yang bisa melakukan operasi sergap dan
serbu secara mandiri. Mirip yang dilakukan Usman-Harun ketika melakukan
penyusupan ke jantung kota Singapura yang pada saat itu menjadi basis tentara
Inggris.
Sekali lagi dari sisi Indonesia,
dari kacamata nasionalisme sentris (baca TNI AL) keberhasilan Usman-Harun dalam
melakukan aksi sabotase itu adalah jasa yang patut dihargai. Sebagaimana jasa
KKO yang berhasil menyusup ke Australia pada operasi Seroja Timor Timur dan
tinggal menunggu perintah komandan: ledakkan!
Ini artinya, AL Indonesia itu
jangan diremehkan. Bahkan ketika penamaan Usman Harun itu dipermasalahkan di
Singapura, itu pun setidaknya jadi satu simbol bahwa di laut kita ini (masih)
berani. Lagi pula jika Singapura sekarang sewot kenapa pula dulu Lee Kuan Yeuw
tabur bunga di atas makam Usman-Harun? Kenapa pula Singapura berbeda sikap hari
ini? Jika memposisikan diri sebagai Singapura, lebih menyakitkan mana antara
mengetahui perdana menterinya tabur bunga di atas makam “teroris” daripada
mengetahui sebuah nama kapal yang belum tentu bisa menembak mereka?
Sewot, katakan saja begitu, itu
lumrah saja dalam citra rasa sebagai bangsa dan negara. Kesewotan itu adalah
tanda bahwa kita masih berbangsa dan bernegara. Saya, dan mungkin juga Anda,
akan sewot pula apabila ada sebuah kapal perang Belanda bernama Westerling.
Tapi saya kira itu pun sebatas sewot yang sangat kecil kemungkannya untuk
dijadikan alasan kembali berperang melawan Belanda. Dan apabila AL Indonesia menghadirkan lagi
“pahlawan-pahlawan” mereka, itu pun penting bagi setiap marinir, dan
Indonesia.
.
0 komentar:
Post a Comment