Kuntowijoyo. Saya mengenal nama itu sejak di
bangku kuliah dari sebuah buku wajib baca, Pengantar
Ilmu Sejarah. Sedikit curcol, buku tutorial sejarah ini yang paling mudah
saya pahami di awal-awal kuliah. Pengantar
Ilmu Sejarah menjadi semacam panduan cara mudah menjadi sejarawan. Melalui
buku itu, Kunto memberi kuliah sejarah dengan bahasa yang sangat sederhana sesederhana
otak mahasiswa baru macam saya saat itu. Buku yang benar-benar luar biasa bagi
mahasiswa biasa yang sok luar biasa di masa kuliahnya. Siapa lagi kalau bukan
saya.
Lalu, Mantra
Pejinak Ular. Buku karya Kunto itu menyusul kemudian dalam sejarah bacaan saya.
Mantra Pejinak Ular telah menyihir
otak saya untuk kemudian meyakinkan bahwa Kuntowijoyo bukan semata sejarawan, ia
mahir susastra. Ini luar biasa sebab sejarawan selalu terpaku pada sejumlah metodologi
dan footnote baku. Kuntowijoyo punya footnote tersendiri bahwa ia sejarawan
cum sastrawan. Dari sini, sedikit curhat lagi, saya mulai mengidolakannya. Tentu
saja idola dalam pengertian akademik dan bukan syahwat. Novel itu menarik
karena setidaknya latar yang dipilih Kunto tidak jauh dengan diri saya sebagai
seorang udik. Mantra Pejinak Ular adalah
gambaran dari realisme udik (pinjam judul esai Binhad Nurohmat) dengan
penggemar yang udik pula. Dan bagi saya, yang udik itu asyik…

Berikutnya, Radikalisasi Petani sebuah kumpula
essai. Ini pun menjadi semacam album dari sejumlah sejarah yang dimampatkan
dalam selembar essai. Hemat saya, dengan esai-esainya itu Kunto tidak sekadar
bercerita tentang fakta yang terhampar dalam sejumlah teks. Tapi banyak fakta
tak nampak yang justru yang hendak ia sampaikan. Tentang budaya tandingan,
sebagaimana ditulis Kunto, itu hanya bayangan perilaku para priyayi yang
ditangkap sebuah “kamera” sejarah Kunto. Tapi di luar itu, bagi saya, yang
menarik justru sejumlah produksi mitos baik dari para penguasa maupun yang
dikuasai. Masing-masing mencoba menguasai dengan mitos yang mereka tebar. Keduanya
tumbuh subur di ladang masing-masing karena terus dipupuk dan dibudidayakan.
Bahwa pada
akhirnya saya bisa menafsirkan sendiri bahwa radikalisasi petani itu pun juga
mitos. Selamat Tinggal Mitos, Selamat
Datang Realitas. Tapi maaf Pak Kunto, realitas itu tak pernah datang. Ia
selalu kami tunggu, tapi yang tiba di hadapan adalah sebuah mitos baru yang
mengaku sebagai realitas. Pak Kunto mungkin tidak keliru, karena saya merasa
Pak Kunto berharap bahwa ada sebuah dunia yang benar-benar real. Bukankah tak ada yang salah dari sebuah harapan?
Yang real
itu 22 Februari 2005. Ketika saya berada di sana, di Bulaksumur untuk sekadar
berbela sungkawa. Entah kekuatan macam apa yang mendorong saya ada di sana.
Yang pasti, meski tak pernah mendapat kuliahnya, Kunto adalah guru saya. Saya ikuti
upacara pengeburuanya hingga di Sawit Sari. Saya turut berdoa, dan meninggalkan
jejak berupa tiga buah lemparan tanah di pusaranya sebagai penanda bahwa kelak
jika mati, saya masih bisa berjumpa denganya untuk sekadar bilang, “Terima
Kasih Pak Kunto”
5 komentar:
bagus gan postingannya, ane blogwalking lagi dan promosi postingan Laku.com belanja online grosir eceran murah dan aman
Saya suka banget dengan tulisan pak Kunto, nama saya juga Kunto hehe( pakai R )
HAI :D
Aku DAH FOLLOW BLOG MU NI..
SKRG TOLONG FOLLOW BLOG KU YA
ajibonsukses.blogspot.com
makasih :D
Halo, Mas Agung. Saya sedang menulis skripsi tentang Marco Kartodikromo. Senang rasanya jika bisa berkorespondensi dengan Mas agung yg juga telah menulis buku tentangnya.
Salam.
terima kasih atas informasinya..
Post a Comment