rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

17 January 2012

Lima Puluh Tahun Sejak Involusi Pertanian

Setidaknya Clifford Geertz benar. Bahwa apa yang ditulisnya sekitar hampir setengah abad lalu tentang involusi pertanian di Jawa nyatanya tak banyak mengalami perubahan. Involusi pertanian, kata Geertz, adalah kemandekan atau kemacetan pola pertanian yang ditunjukkan oleh ada tidaknya kemajuan hakiki. Nah, pertanyaanya, adakah kemajuan hakiki dalam pola pertanian di Jawa hari ini?


Laporan statistik pemerintah tak sepenuhnya menggambarkan realita di masyarakat petani Jawa baik sebagai wilayah geografis maupun sebagai kebudayaan. Jika angka-angka kemajuan yang dipaparkan negara mengenai perkembangan produksi pertanian itu benar, maka angka itu pun tidak bisa menggambarkan betapa terperosoknya kebudayaan agraris Jawa.

Tak ada revolusi monumental dalam pola pertanian di Jawa. Bahwa ada perkembangan dalam agroindustri dalam beberapa decade terakhir, itu pun masih dalam skala minoritas. Sebagian besar lain masih mewarisi pola-pola pertanian kuno, dengan tingkat produksi yang juga kuno, dan perkembangan yang lambat. Diamini atau tidak, Jawa masih nyaman dalam tempurungnya sendiri. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari falsafah kebudayaan Jawa.

Apa yang dikatakan Geertz 50 tahun lalu tentang sistem pewarisan tanah di Jawa yang menjadi salah satu sebab kemiskinan setidaknya juga masih berlaku—dan mungkin semakin buruk. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat—yang disertai kemustahilan perluasan pulau Jawa--mungkin menyebabkan kepemilikan tanah semakin menciut.  Tanah, sebagaimana dikatakan Geertz setengah abad silam, adalah modal bagi para petani Jawa. Kepemilikan itu kini semakin terkotak-kotak dalam petak-petak kecil dan akan semakin menciut seiring bertambahnya generasi. Bukan tidak mungkin, ke depan, pertanian di Jawa justru akan mengalami kemunduran bahkan hilang dari peradaban. Persis yang dibayangkan Geerzt setengah abad lalu.

Sebagaimana diketahui, penelitian Geerzt itu ditanggapi secara serius oleh pemerintahan orde baru. Ada udang kapitalisme di balik batu penelitian Geerzt telah membidani kelahiran revolusi hijau di Jawa. Dalam hal ini, Geerzt ternyata keliru. Ia tidak memprediksikan bahwa revolusi hijau justru menjadi blunder bagi pertanian di Jawa. Persoalan riil yang terjadi setelah 50 tahun penelitian itu adalah kerusakan ekologis di hampir seluruh lahan pertanian di Jawa. Persoalan kerusakan lahan, terputusnya ekosistem alami akibat penggunaan pestisida, dan sederet persoalan ekologi lain timbul belakangan setelah revolusi hijau diterapkan di Indonesia. 

foto:indiana.edu
Satu hal lagi bahwa ada efek lain dari saran Geertz, yakni rangsangan perselingkuhan (abadi) antara negara dan kapitalisme. Pupuk pabrik hingga kini masih dikendalikan negara. Satu lagi, negara adalah distributor sekaligus marketing efektif untuk menyalurkan bibit unggul dari. Sayangnya pula peselingkuhan itu mengkhianati pasangan resmi negara, petani. Mereka adalah target pasar bagi negara. Persoalan ini memang tidak dijawab Geertz, bukan tanggungjawabnya sebagai antropolog untuk mengatasi persoalan mental para ambtenaar. Tapi setidaknya Geertz sudah pasti tahu bahwa mentalitas macam inilah pernah terjadi pada masa kolonial Belanda. Pada kasus ini, Geertz bisa dilabeli sebagai orientalis. 

Sayangnya pula Geertz tidak bisa turut menyimak berita ekologi sepanjang tahun 2010 lalu. Tahun itu adalah hari-hari yang berat bagi para petani di Jawa. Hujan terus mengguyur sepanjang tahun dan pemanasan global berserta dampak-dampaknya menjadi satu persoalan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat yang menggantungkan pada sektor pertanian. Padahal, sebagaimana kita ketahui, sebagian besar masyarakat Jawa berprofesi sebagai petani. 

Pemanasan global selebihnya telah berdampak pada musim penghujan dan kemarau yang tak menentu mengakibatkan masa pola tanam berubah. Bulan April-September yang seyognyanya musim kemarau nyatanya toh hujan terus mengguyur. Sementara bulan Oktober-Maret yang seharusnya musim penghujan terkadang masih menyisakan panas. Perubahan musim ini mengakibatkan tanaman-tanaman yang biasanya ditanam di musim penghujan atau musim panas tidak bisa dilakukan.

Satu contoh para petani jagung di lahan ladang di Jawa yang biasanya bertanam di awal musim penghujan harus mengubah tanaman mereka. Jagung tak bisa ditanam di tengah intensitas hujan yang tinggi. Bukti lain bisa dilihat dari kegagalan panen petani tembakau di  karena hujan terus melanda di saat masa panen tembakau di musim kemarau (Juli-Agustus 2010 lalu). Hujan yang terus mengguyur menyebabkan kualitas tembakau buruk sehingga para tengkulak menolak hasil panen mereka. Akibat lanjut dari masalah ini petani menanggung utang. Bukti lain bisa kita lihat pula dari kegagalan para petani bawang merah di Brebes. Mereka mengalami kegagalan panen saat hujan terus mengguyur lahan bawang merah. Hal ini menyebabkan bawang merah membusuk yang tentu saja tidak laku jual.

Sementara itu para petani di Jawa rata-rata tidak memiliki pendapatan harian serta social cost tinggi. Pendapatan mereka rata-rata triwulanan sesuai dengan masa tanam hingga masa panen tanaman. Padahal setiap hari mereka dihadapkan pada biaya-biaya sosial (jagong manten, takziah, jenguk orang sakit dll.) yang harus dikeluarkan tiap hari.  Permasalahan inil turut membelit petani.

Dan persoalan di atas luput dari perhatian Geertz, sebab ia nampaknya lebih fokus pada upaya mendorong pemerintahan di Jawa mengikuti program negeri Paman Sam. Meski dalam beberapa hal tentang involusi pertanian itu benar, penelitian itu tak bisa lepas dari dalih untuk merangsang kemajuan versi peneliti Amerika Serikat. Sebab bagaimana pun juga dari sanalah Geertz berasal. S

Sumber: 
Clifford Geertz, 1963, Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, alih bahasa S. Supomo, Jakarta: Bhratara Karya Aksara 1983. 

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Lima Puluh Tahun Sejak Involusi Pertanian

  • Profil dan Karya Remy Sylado Nama aslinya Yapi Tambayong. Tapi dalam berkarya ia sering menggunakan nama pena seperti Remy Sylado, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Dova Zila, atau Jubal Anak ...
  • Mengenang Karya-karya Kuntowijoyo Kuntowijoyo. Saya mengenal nama itu sejak di bangku kuliah dari sebuah buku wajib baca, Pengantar Ilmu Sejarah. Sedikit curcol, buku tutorial sejarah ini yang paling m ...

0 komentar: