rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

25 March 2007

Autensitas Kebudayaan Bugis


Melalui tangan Denys Lombard Jawa terkupas. Bahwa Jawa yang adiluhung itu ternyata dipengaruhi oleh budaya Eropa-Islam-Cina-dan India. Empat diantara ”pembentuk” Jawa terangkum dalam 3 jilid Nusa Jawa: Silang Budaya, Denys Lombard.


Melalui bukunya tersebut, Lombard memang tak hendak menunjukan autentitas manusia Jawa yang terbentuk karena persilangan pelbagai budaya. Meski tersirat, Lombard menyatakan bahwa persilangan pelbagai budaya itu bukan petaka tetapi anugerah. Kebudayaan Jawa semakin kompleks.

Meskipun kompleks dan pengaruh kebudayaan asing masuk, Jawa selalu bisa membatasi dirinya untuk tak menelan mentah setiap kebudayaan yang masuk. Dengan begitu tiap kebudayaan asing yang masuk, tak benar-benar bisa meluluhlantakan Jawa. Itulah sebenarnya yang dapat dipetik ketika membaca hamparan pengetahuan akan Jawa yang ditulis Denys Lombard.

Konon selain Jawa, Bugis ternyata tak kalah istimewa. Christian Pelras rekan Lombard yang datang dari Perancis dengan Manusia Bugis-nya telah membuktikannya. Bugis nyata tak sekadar meninggalkan epik panjang, La Galigo tetapi juga kebudayaan-kebudayaan adiluhung yang lain. Doktor Antropologi dari Sorbonne ini secara terang-terangan menunjuk beberapa keistimewaan dan juga kontradiksi sejarah pengagunggan kebudayaan Bugis. Pelras mencatat keistimewan Bugis terletak pada autentitas kebudayaan mereka. Autentitas itu dapat ditilik dari beberapa segi.

Pertama, masyarakat Bugis sebenarnya bukanlah masyarakat maritim. Pelayaran Bugis baru dimulai abad ke-18. Sementara Pinisi, kapal hebat dari Bugis itu, bentuk dan modelnya sebenarnya ada di penghujung abad ke-19 sampai dekade 1930-an. pernyataan Pelras seperti ini yang membedakan dengan cerita yang beredar selama ini. Menurut Pelras, masyarakat Bugis “asli” sebenarnya petani.

Hal ini dimungkinkan dengan masyarakat Bugis kuno yang tinggal di sekitar danau Poso di pedalaman Sulawesi yang tak memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Sungai-sungai yang menghubungkan pedalaman dengan laut tak bisa digunakan untuk jalur pelayaran. Orang Bugis gemar melayar ketika di abad ke-18 mereka mulai bermigrasi ke Makasar. Makasar adalah kota pelabuhan besar di Nusantara, di sanalah orang Bugis menetap dan memulai pelayarannya.

Kedua, berbeda dengan Jawa yang menurut Lombard dibentuk arus budaya dan meski terjadi batas-batas pembaratan. Jaringan pelayaran Asia yang memungkinkan budaya Arab dan Cina masuk ke Jawa. Warisan India dengan kerajaan-kerajaan konsentrisnya. Bugis menurut Pelras dapat menghindar dari pengaruh-pengaruh asing itu. Meskipun demikian, Pelras tak memungkiri bahwa telah terjadi persinggungan kebudayan antara Bugis dengan kebudayaan lain. Gejala itu tak bisa dipungikiri ketika modernitas Barat merasuk ke hampir seluruh persendian kebudayaan dunia.

Autentitas kebudayaan Bugis dapat dirunut dari kronik sejarah Bugis. Pengaruh India yang datang lebih awal ke Nusantara tak banyak bepengaruh. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya artefak-artefak corak India yang tertinggal di Bugis. Majapahit pun yang konon menguasai Bugis tak meninggalkan banyak pengaruh di Bugis. Orang Bugis mengatakan Majapahit sekadar mengklaim, tak pernah benar-benar menguasai Bugis.

Demikian pula dengan pengaruh Islam (pedagang Arab) dan Kristen (Portugis dan Belanda) yang saling berebut pengaruh datang ke Bugis pada abad ke 16. Pada akhirnya Islam dapat memenangkan “kompetisi” itu setelah Portugis terdepak dan Belanda masuk ke Makasar. Namun kolonialisme Belanda pun ternyata kalah pengaruh dari Islam. Kemenangan itu tak lepas dari pengaruh Islam yang terlebih dulu mengislamkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi.

Ketiga, penempatan perempuan menjadi simbol dari keunikan dari tradisi Bugis sekaligus menunjukan bahwa Islam pun tak sepenuhnya diadopsi. Masyarakat Bugis tradisional mengijinkan perempuan menjadi pemimpin. Inilah yang membedakan antara kepemimpinan Islam dengan kepemimpinan Bugis. Kata Pelras, di Bugis perbedaan gender dengan menempatkan perempuan sebagai second sex tak nampak. Pembagian kerja misalnya, bukan didasarkan atas jenis kelamin, lelaki pun bisa melakukan pekerjaan halus dan begitu sebaliknya dengan perempuan.

Di sinilah perbedaan Lombard dan Pelras terlihat jelas. Jika Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya sedikit membahas perempuan Jawa, maka Pelras sebaliknya membahas banyak tentang perempuan Bugis yang ditempatkan tak sekadar kanca wingking. Bahkan menunjukan bagaimana masyarakat Bugis melindungi para perempuan. Perlindungan itu atas dasar keyakinan bahwa lelaki memiliki libido tinggi dibanding perempuan. Bukan atas dasar anggapan bahwa perempuan itu lemah, dan layak mendapat perlindungan.

Berbeda dengan Lombard yang melakukan riset pustaka, penelitian terlibat yang dilakukan Pelras pun berhasil membedah para transeksual yang justru mendapat penghormatan dari masyarakat Bugis. Penghormatan masyarakat Bugis terhadap Bissu menjadi bukti bahwa kearifan kuno masih dipertahankan hingga kini, di tengah-tengah pandangan yang menyatakan kentalnya ke-Islam-an orang Bugis. Penghormatan terhadap bissu itu tak lepas dari anggapan keyakinan kuno bahwa Yang Maha memiliki dua sifat: lelaki dan perempuan. Bissu adalah orang yang merepresentasikan sifat-sifat yang Maha itu seperti yang orang Bugis tulis dalam epos panjang, La Galigo.

Keempat, La Galigo adalah bukti keistimewaan Bugis dan bagi tulisan Pelras. Epos La Galigo adalah catatan lengkap bagi Bugis. Dari sanalah segala sumber pengatahuan tentang Bugis terangkum. Termasuk juga tentang konsepsi kepercayaan orang Bugis. Oleh karena itu kepercayaan-kepercayan itu masih dipegang oleh sebagian orang Bugis hingga kini. Pelras berpendapat bahwa eksistensi konsepsi kepercayaan itu dikonstruk oleh bangsawan Bugis untuk memperkukuh status sosial mereka yang konon keturunan Sawe’rigeding (hlm. 103).

Keistimewaan La Galigo bagi Pelras adalah mendasari penelitiannya. Pelras ingin membuktikan bahwa La Galigo yang bertautan dengan mitos-mitos senyatanya ada dan dapat dibuktikan secara empiris melalui penelitiannya. Pelras meyakini bahwa La Galigo merupakan catatan sejarah dan etnografi Bugis yang dapat dipercaya. Oleh karena itu ia akan menerbitkan buku Regards nouveaux sebagai pembuktiannya atas La Galigo.

Namun uniknya dari serangkain ulasan panjang dalam buku ini, Pelras mengakhiri tulisannya dengan bahasan tentang Elit Modern dan Pemimpin Baru, Usahawan Bugis Kontemporer dengan mengambil sampel “Dinasti Kalla” (hlm. 381). Bahasan itu diawali dengan pernyataan Pelras yang terang mengatakan merosotnya peran bangsawan Bugis dalam perekonomian. Apa maksud Pelras dengan mengambil sampel keluarga Kalla? Autentikah niatnya? kita tunggu saja jawabannya di terjemahan Regards Nouveaux.



Identitas Buku:

Judul: Manusia Bugis
Pengarang: Christian Pelras
Penerjemah: Abdul Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok
Penyunting: Nirwan Ahmad Arsuka, Ade Pristie Wahyo, J.B. Kritanto
Penerbit: Nalar, Jakarta
Tahun terbit: II 2006

Tebal: 450 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Autensitas Kebudayaan Bugis

1 komentar:

Anonymous said...

Seperti kataku tempo lalu,bahwa buku adalah makanan jiwa.Ia tidak berjalan seadanya sambil bersenandung tersia,ia bercerita tentang banyak cerita heroisme dan cerita anak bangsa.Mas,sedang sibuk apa sekarang?kalo bisa maen2 singgah ke blog ku ya...ditunggu.RATUADIL.