rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

19 July 2009

Poeze, buku, dan Sejarah

"Leiden mebuat buku sejarah dengan segudang data, Cornell membuat buku sejarah dengan permainan bahasa". Kalimat ini saya jiplak dari obrolan kecil dengan seorang karib, yang Mba'-nya lagi "nyantri" di Leiden.

Jika saya teruskan jiplakan obrolan itu akan menghasilkan kalimat seperti ini, "Kata Mba saya, orang-orang di Leiden menyebut orang Cornell itu sukanya bikin, his story." Saya manggut-manggut. Baik Leiden maupun Cornell saya tahu, tapi belum pernah ke sana sehingga saya tidak bisa mengecek kebenaran atas pernyataan itu. Hari ini saya baru mengenal Cornell dan Leiden dari buku sejarah.

Kebetulan, buku yang paling dekat dengan keyboard tempat saya menulis adalah buku Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Harry A. Poeze punya.



Poeze, kita tahu saudara-saudara, 36 tahun hidupnya ia berikan untuk meneliti Tan Malaka. Hasilnya, ia menjadi alamat bagi siapapun yang menelusuri Tan. Poeze bukan jebolan Leiden, ia jebolan Jurusan Sejarah Amsterdam Universiteit. Universitas ini, kata karib saya lagi, jauh lebih lengkap datanya tentang Indonesia ketimbang Leiden.

Buku Poeze kali ini tidak jauh berbeda dengan buku tentang Tan Malaka dari sisi kelengkapan data dan informasi. Saya tak mungkin merangkum satu persatu "orang Indonesia" yang pergi ke negeri penjajah, sebagaimana disebutkan dalam buku ini. Terlalu banyak tokoh yang disebutkan. Saya akan sebutkan beberapa, Abdul Rivai yang mengelola Bintang Hindia, koran dengan tampilan lux di awal abad 20, Noto Soeroto, penyair sekaligus politikus, Soewardi Soerjaningrat, simbahnya tokoh PKI, Semaoen, sedikit tentang Marco Kartodikromo, orang-orang PI, dan masih banyak lagi.

Ngapaian saja mereka di negeri penjajah? Itulah yang dibahas dalam buku ini. Saya sengaja untuk tidak merangkum apa saja yang dilakukan orang Indonesia ketika di negeri Belanda. Saya memilih untuk menelisik, pilihan tema, judul, dan pesan yang dipakai Poeze dan kawan-kawan dalam buku yang diterbitkan juragan buku Indonesia, KPG ini.

Pertama, buku ini dibagi menjadi 3 bab. Bab 1 sumbangan dari Cees Van Dijk, dengan pembabagan waktu 100-1898 dengan sub judul Utusan Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa. Bab II, tulisan Poeze, dengan pembabagan waktu 1898-1945. Terakhir, sumbangan dari Inge van der Meulen, 1945-1949 dengan judul bab, Berangsur Menjauh.

Pembabagan waktu ini sama saja dengan sebuah pesan, "Ini tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian, bahwa Belanda mengantarkan orang Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan." Bila dilanjutkan, "Kami sadar bahwa sebelum politik etis, 1600-1898, kami sempat berlaku sebagaimana umumnya penjajah, "memperbudak"".

Lantas, "Kami penjajah ini akhirnya memilih politik etis. Lihat betapa banyak orang-orang Indonesia yang kami cerdaskan, dari Abdul Rivai hingga Hatta. Mereka-lah yang pernah ke negeri penjajah yang benar-benar merintis kemerdekaan itu"

Terakhir, "Semenjak kalian (Indonesia) merdeka, hubungan itu makin menjauh. Kalian seperti kacang lupa pada kulitnya."

Kedua dari judul, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Ada beberapa kata kunci, negeri, penjajah, orang Indonesia, dan Belanda. Bagi saya judul ini mengundang untuk berdiskusi. Apalagi jika membaca pengantar di halaman x paragraf 4 kolom 1:

"Judul In het land van de overheerser (Di Negeri Penjajah) ini sungguh tepat untuk keseluruhan buku ini. Kata 'overheeser (penjajah) yang kini negatif dan mencekam itu sampai awal abad ke-20 punya arti lain. Pada waktu itu istilah itu menggambarkan hubungan kolonial yang memang berlaku, dalam makna netral, oleh karena itu dipergunakan juga orang Indonesia sendiri, seperti tersebut di banyak tempat dalam buku ini."

Saya tidak tersinggung dengan kata "penjajah" ini. Sebab ini kenyataan historis bahwa pada awal abad 20 itu konteksnya ada yang menjajah dan ada yang dijajah, kulit putih yang menjajah dan kulit berwarna yang dijajah. Perkara macam ini, politik rasialisme, telah dibicarakan Frantz Fanon pada 1952 melalui Black Skin with Masks tahun sebelum buku ini terbit. Juga Orientalisme yang didedah Edward Said pada 1978--8 tahun sebelum buku ini pertama kali diterbitkan di Belanda. Artinya buku itu ditulis ketika dunia sedang berwacana mengenai relasi kekuasaan dengan kanal-kanal yang beraneka rupa.

Di Indonesia buku ini hadir pada 2009--23 tahun lebih lambat. Inilah perkaranya, ketika buku lama dikaitkan dengan konteks kekinian. Kini bagi para apatis ke-sejarah-an, agaknya, menjadi sesuatu yang usang ketika bicara tentang penjajah dan yang dijajah. Ini mendedah luka lama bagi para nasionalis, dan merangsang keprihatinan bagi kalangan humanis. Dunia tanpa batas nation, bagi orang seperti itu tak hirau lagi pada yang dijajah dan yang menjajah. Bagi nasionalis, ini akan terus menabalkan nasionalisme yang pada akhirnya jika terus berlanjut menjadi chauvinis, fanatis. Fanatisme inilah yang dicemaskan para humanis sebab mereka tak ingin ada perang baru baik fisik maupun sekadar diskursus.




Pada sisi lain pemilihan kata " orang Indonesia" bisa didiskusikan ulang. (Pak) Poeze dan kawan-kawan tentu tahu bahwa awal abad 20, Indonesia sebagai negara belum ada ketika itu. Kenapa tidak sekalian saja menyebut penduduk Hindia Belanda, atau bumiputera, atau bahkan pribumi?

Saya rasa penting untuk menerbitkan buku dengan pengubahan judul yang disesuaikan dengan konteks jaman. Itulah, saya pikir, fungsi penting dari tahut terbit sebuah buku. Sebab dari tahun terbit itulah bisa diraba kepentingan, ideologi, dan semangat penulis pada pilihan tema yang dipilih. Dan buku ini menjadi canggung ketika di satu sisi ingin humanis--dengan bercerita sisi-sisi lain tokoh-tokoh perintis Indonesia, di sisi lain masih menganggap penting nasionalisme (penjajah)--dengan pilihan kata "penjajah" dan "Indonesia".

Akhirul kalam, hadirnya buku ini menjadi satu referensial penting bagi khasanah perbukuan (sejarah) Indonesia, meski pun harus dengan pembacaan yang kritis tidak terpukau dengan ribuan data dan informasi di dalamnya. Semoga saja kita di negeri yang dulu dijajah tidak seperti para penonton wayang di kampung yang mlongo dengan kehebatan sang dalang berturur. Kita bukan sedang membaca ceritanya Pak Poeze melainkan sedang misuh-misuh sebab literatur penting di negeri sendiri susah dicari.

Sudahkan Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya membaca buku ini?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Poeze, buku, dan Sejarah

2 komentar:

kere said...

lanjutkannnnnnn!!!! lebih rajin lebih baik.

buy gold coins said...

Great and really wonderful. i found this site really awesome.