rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

05 June 2007

Buruh Selalu Gagal Mogok




Bersatulah kaum buruh sedunia. Petuah Karl Marx ini menggema, menggelorakan buruh untuk menentang para pemilik modal. Buruh bukan-lah sapi perah. Para pemilik modal bukan juga tuan. Keduanya memiliki hubungan setingkat dalam sistem kapital.

Namun ketidakadilan, hak-hak diabaikan, upah minim, dan lain hal kerap menimpa buruh. Alhasil terjadi hubungan budak dan majikan, bukan hubungan kerja yang memanusiakan. Inilah sebab buruh mogok kerja. Pemogokan ini seperti mengiringi setiap pertumbuhan kapitalisme.

Ketika Perang Eropa berakhir pada 1918, industri kembali ditumbuhkan. Eropa menggenjot semua sektor yang menghasilkan uang. Negara-negara koloni Eropa menjadi sasaran penggenjotan komditas ekspor. Tak terkecuali Belanda dengan tanah jajahannya, Hindia Belanda.

Perkebunan tebu di Jawa digenjot. Pabrik-pabrik gula di Jawa dipaksa terus berproduksi. Eropa, yang baru usai perang itu haus gula. Belanda untung dengan ekspor gula dari Jawa. Tapi nasib buruh-buruh pribumi tetap buntung. Gaji tetap rendah tapi para pemilik modal perkebunan dan pabrik tebu makin kaya. Kesenjangan terjadi. Ketidakadilan menjadi tirani. Buruh-buruh marah.

Melihat realitas ini, kaum yang tercerahkan tak tinggal diam. Diantaranya Suryapranoto, cucu Paku Alam III. Suryopranoto yang tercerahkan dengan pendidikan Eropa dan mengenyam pelbagai ideologi segera mendirikan PFB (Personeel Fabriek Bond) pada 1918 di Jogjakarta.

Perkumpulan para buruh pabrik gula ini punya arti strategis. Jogjakarta dan Surakarta (Vorstenlanden) ialah pusat perkebunan tebu dan pabrik gula. Di dua kota itulah modal bertumpuk. Di situlah buruh-buruh bermukim. Di Vorstenlanden itulah ketidakadilan terjadi.

Apalagi ketika itu harga kebutuhan hidup naik. Harga beras mencapai f 4,-. Harga ini belum final, pedagang menjual beras sampai f 6.50. Sedang inflasi kian menghimpit. Upah buruh tak mencukupi kebutuhan hidup. Pemerintah Hindia Belanda acuh dengan pribumi.

Rencana, 1920 akan terjadi pemogokan massal di Hindia Belanda!!

Tapi pemogokan tak sesuai rencana. Terjadi perpecahan di antara para buruh. Pemogokan memang terjadi di Madiun, Surabaya, Jogjakarta, Surakarta, Prembun, dan Puroworejo. Hanya saja mereka berjalan sendiri-sendiri. Para raja mogok; Suryopranoto, Alimin, Marco Kartodikromo, Darsono, dan beberapa pemimpin Central Sarekat Islam pun berjalan sendiri. Jargon Karl Marx, bersatulah kaum buruh sedunia, menguap.

Belanda pun diuntungkan dengan kegagalan ini. Sebagian buruh yang sebelumnya mogok, berhasil dipekerjakan lagi. Gerakan ini pun susut dengan berangsur-angsurnya ekonomi yang membaik. Pada akhirnya kapitaliseme melenggang tanpa ditentang. Buaian kenyamanan dan materialisme jauh lebih membius daripada janji-janji pembebasan dari para marxis.

Pemogokan buruh pada 1920 ini barangkali menjadi monumen. Simbol dari satu momentum. Tapi sebagaimana simbol, tak akan punya makna jika tak dimaknai. Barangkali juga penyebab kegagalan pemogokan itu bukan siapa dipimpin siapa. Atau kecanggihan para pemodal membujuk para buruh. Melainkan mentalitet bangsa.

Judul: Pemogokan Buruh, Sebuah Kajian Sejarah
Pengarang: Bambang Sulistyo
Penerbit: PT Tiara Wacana Yogya
Cetakan: Agustus 1995
Tebal: ix+205 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Buruh Selalu Gagal Mogok

1 komentar:

Anonymous said...

Mungkin nenek moyang kita bisa dijajah sampai segitu lamanya, 300 tahun lebih, ya karena gampang dipecah belah itu. sampai sekarangpun masih terjadi, tidak cuma pada kaum buruh.