rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

13 April 2007

Kabar Baru dari Pak Asvi


Kabar baru! Kabar baru! Kabar baru! Pak Asvi Warman Adam menulis buku lagi. Siapa tak kenal Pak Asvi? Dia adalah peneliti di LIPI. Kali ini buku barunya berjudul “Seabad Kontroversi Sejarah”. Sampul buku itu berwarna coklat ada gambar telunjuk dan ibu jari menarik benang warna merah. Apa ya kira-kira maksudnya? Mari kita simak ceritanya:
Halaman tujuh sampai tiga belas, Pak Asvi bercerita tentang Prof Resink. Pak Resink menyanggah jika Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Pak Resink pada abad 19 banyak kerajaan-kerjaan kecil di wilayah yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tak dijajah Belanda. Buku Pak Resink yang membahas hal itu berjudul “Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910”.
Buku itu saya baca tiga tahun lalu. Teman saya waktu itu memborong buku loak di bilangan Kwitang Jakarta. Satu dus besar buku diborongnya. Salah satunya ya, bukunya Pak Resink itu.
Pak Asvi mungkin belum baca buku terbitan Februari lalu. Judulnya Pelangi di Ketangi (2007). Buku itu, buku sejarah dusun yang disusun dengan metode sejarah lisan. Di situ saya temukan kalimat yang (mungkin) berhubungan dengan pendapat Pak Resink. Seorang tua dusun yang jadi nara sumber buku tersebut mengatakan, “Mas, dijajah niku susah” (dijajah itu susah).
Saya tak temukan kutipan di atas dalam tulisan Pak Asvi. Saya yakin itu akan melebarkan topik pembicaraan, menambah halaman, dan mungkin tak penting. Sebab pada halaman ke 14, Pak Asvi melanjutkan kontroversi kedua: “Agama dan Kepercayaan Kartini”.
Saya tertarik dengan kalimat terakhir yang disampaikan Pak Asvi: “Ia (Kartini) tampaknya ditakdirkan menjadi milik dan diperebutkan semua golongan.” Jika demikian adanya, apa yang bikin polemik? Bahwa perbedaan itu akhirnya berujung pada satu kesimpulan: Kartini milik siapapun.
“Sebab adanya kontroversi karena ada yang mempermasalahkan. Jika kita semua telah bersepakat, semua mengamini, di mana kontroversi itu?” Itu yang pernah saya ucapkan di diskusi kelas 5 semester lalu. Ah saya tak tahu. Mungkin Anda lebih cermat membaca.
Yang saya bisa pastikan adalah pada halaman 21 tertulis: “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei”. Pantaskah Budi Utomo jadi tonggak kebangkitan Nasional? Sebab Budi Utomo terlalu Jawa sentris. Apakah tidak lebih pantas yang jadi tonggak kebangkitan Nasional adalah Sarekat Islam yang jangkauannya lebih nasional? “SI hanya mewakili kalangan Islam,” suara lain terdengar di seberang.
Saya heran (dibaca dengan geleng-geleng kepala), sejak dulu semua orang ingin dikenal sebagai pelopor, perintis, pemula, ingkang bukak citak. Perdebatan ini sama saja ketika membicarakan pahlawan-pemberontak. Atau sekalian saja kita berdebat sirkularitas ayam-telur.
Ijinkan saya sombong. Sampai hari ini saya tak habis pikir dengan tokoh yang bukak citak desa saya. Namanya Kyai Tasono. Ia berpesan agar makamnya tak boleh diberi cungkup, dibuat megah, dimuliakan. Ia justru ingin dimakamkan di bukit bagian, bukan di atas bukit. Anda tentu arti bawah dalam konsep pemakaman Jawa tradisional.
Daripada meributkan Hari Kebangkitan Nasional sebaiknya mari kita jadikan tiap hari adalah kebangkitan nasional. Tiap hari kita bergerak. Tiap hari kita mengingat Indonesia. Kita jadikan Indonesia Raya bekerja, Indonesia Raya belajar, Indonesia jaya. Omongan Gus Pur, dalam News Dotcom benar, “Gitu aja kok repot”.
Kembali ke kontoversi. “Kembali Kepada Manifesto Politik 1925”. Itu judul bab di halaman 28. Manifesto sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang terbebas dari penjajah, bangsa yang tak mau diperbudak jadi kontroversi? Sebabnya barangkali kita tak pernah merdeka.
Kontroversi bukan perdebatan manakah yang lebih tepat perumusan bangsa itu pertama kali muncul. Manifesto 1925 atau Sumpah Pemuda 1928. Keduanya penting, tak perlu diperdebatkan. Mari kita debatkan, apakah sebagai bangsa kita telah merdeka? Atau jangan-jangan konsep bangsa pun belum terumuskan sepanjang sejarah Indonesia Raya?
Saya cukupkan sampai di sini cerita tentang buku Pak Asvi yang baru. Baiknya Anda memang baca sendiri. Anda akan bebas dari dogma. Saya juga tak mau mendikte pemikiran seseorang. Jangan hiraukan celoteh ini. Anggap saja tak pernah ada atau tak pernah Anda baca. Baiknya Anda memang baca sendiri! Syukur-syukur Anda menjadi peneliti di LIPI. Semoga kabar baru itu segera saya terima segera.


Identitas Buku:
Judul: Seabad Kontroversi Sejarah
Pengarang: Asvi Warman Adam
Penerbit: Ombak Jogjakarta
Cetakan: Maret 2007

Tebal: 180 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Kabar Baru dari Pak Asvi

0 komentar: