rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

01 April 2007

Sejarah Perkembangan Sosialisme di Indonesia


Apa yang bisa dijelaskan dari sosialisme dari buku setebal empat puluh halaman? Jika sang “nabi” sosialisme, Karl Marx, menulis dua jilid Das Kapital setebal hampir seribu halaman. Memampatkan ide-ide sosialisme dalam empat puluh halaman tentu sebuah tindakan absurd.

Tapi Roeslan Abdulgani tetap melakukannya. Perkaranya dia tak membahas detail sosialisme dunia. Ia fokuskan kajiannya pada sosialisme Indonesia. Itu saja singkat. Hasilnya adalah buku Perkembangan Tjita-tjita Sosialisme di Indonesia.

Barangkali yang mendorong Roeslan menulis buku ini adalah momentum. Buku ini dicetak pada 1960. Sebagaimana diketahui, jaman itu, paham sosialisme juga komunisme marak dipelajari. Soekarno memimpin Indonesia sendirian. Hatta mengundurkan diri pada 1958. Tanpa Hatta di sampingnya, Soekarno menelurkan ide utopisnya: nasionalis, agama, dan komunis.

Di sekeliling Soekarno, pejabat-pejabat melakukan pendekatan. Semua “mengamini” ide Soekarno. Tak peduli sesuai nurani atau tidak, pejabat-pejabat di sekeliling Soekarno menjujung prinsip yang ngetrend saat itu, ABS (asal bapak senang). Roeslan tak mensia-siakan momen. Kebetulan pada 1960, ia adalah Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

Buku ini merupakan makalah yang disampaikannya pada kuliah umum dalam rangkan Dies Natalis ke-III Perguruan Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Kotapraja di Malang pada 2 Juli 1960.

Dalam buku ini ia jelaskan sosialisme bukan paham baru di Indonesia. Pertama, ciri masyarakat sosialis, menurut Roeslan, adalah masyarakat komunal. Gotong royong yang jadi nafas masyarakat adalah bentuk komunal purba yang hidup di Indonesia. Kerajaan-kerajaan yang pernah hidup di Indonesia, menurut Roeslan, adalah bentuk masyarakat komunalis agraris. Dari situ ia yakin bahwa sosialisme itu bukan barang baru di Indonesia.

Ciri kedua dari masyarakat sosialis adalah perlawanan terhadap sistem kapitalis. Perlawanan ini dipicu hegemoni ekonomi dari para pemilik modal yang menghisap kaum-kaum proletar. Sebab itu, ia yakin, sosialisme akan tumbuh subur di kalangan masyarakat miskin.

Ini terbukti pada masyarakat komunal di pedesaan Jawa. Keberhasilan Samin Soerosintiko menggalang petani-petani di sekitar Blora melakukan perlawanan pada Belanda membuktikan bahwa masyarakat “lapar” mudah digerakan. Apalagi pada 1890, ketika tanam paksa baru saja berakhir secara resmi, masyarakat Blora benar-benar dihisap tulang sunsumnya. Hutan jati, minyak, juga pertanian di Blora dihisap kaum pemodal Belanda.

Perlawanan Samin di seperempat awal abad 20 itu juga menandai pola masyarakat komunal modern pertama di Indonesia. Bentuk gerakan yang jelas, dengan emlakukan pemogokan, tak mau membayar pajak, dan perlawanan fisik merupakan ciri, masyarakat komunal modern menurut Roeslan.
Tapi bukan berarti ide-ide sosialisme di Indonesia berjalan mulus. Periode 1920-1926, sosialisme berbenturan dengan ide-ide Islam, dan nasionalis sekuler. Perpecahan di dalam tubuh Sarekat Islam, paling tidak, membuktikan perbenturan dua ide besar itu.

Di periode ini perbenturan antara tampak jelas. Perseteruan antara Tjokroaminoto yang representasi dari Sarekat Islam putih dan Martodharsono dari kubu nasionalis sekuler terjadi pada 1918. Ketika koran yang dipimpin Martodharsono, Djawi Hiswara, membuat ulah dengan menerbitkan artikel yang dinilai menghina Nabi Muhammad S.A.W.

Hanya saja, Roeslan Abdulgani, dengan segala kekurangan dari buku setipis ini tak bisa membidiknya. Termasuk posisi Haji Misbach yang mengaburkan dikotomi nasionalis sekuler, komunis, dan Islam. Haji Misbach adalah representasi dari ketiga ideologi besar itu.

Pandangan ini, pada periode berikutnya, hampir serupa dengan ide Soekarno dengan NASAKOM-nya. Ide inilah yang baru digandrungi Soekarno pada 1960-an. Terbitnya buku ini, bisa jadi, adalah untuk mendukung ide-ide Soekarno. Tapi ada yang alpa dalam pemahaman Soekarno dan Roeslan Abdoelgani: sosialisme tumbuh di kalangan masyarakat miskin. Pada 1960-an itulah masyarakat Indonesia dihadapkan pada inflasi, antri beras, dan kelangkaan bahan pokok.

Dari sanalah komunis, anak sosialisme, diberi tempat di hati rakyat. Partai Komunis Indonesia berhasil dekat dengan Soekarno. Partai ini kemudian, dan juga pejabat-pejabat kala itu, ketika Orde Baru berkuasa dinilai sebagai yang menjilat sekaligus melawan Soekarno.


Identitas Buku:
Judul: Perkembangan Tjita-tjita Sosialisme di Indonesia
Pengarang: Roeslan Abdulgani
Penerbit: Jajasan Perguruan Tinggi Malang
Cetakan: I 1960

Tebal: 40 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah Perkembangan Sosialisme di Indonesia

1 komentar:

Anonymous said...

saya, ratu adil.saya perempuan biasa.saya juga sama.bergulat dengan buku-buku kuno, hampir setiap saat.Perjalanan yang tiada kenal lelah. Saya haus setiap saat dengan simbol2 konstruksi sosial masa lalu dan kini yg tercanang apik melalui kertas ide, yaitu buku. Senang berbagi dengan anda, mas....