rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

25 March 2007

Gardu-gardu yang Mengawasi


Menara, gardu, dan mercusuar adalah prasasti dalam tiga dimensi yang lahir dari rahim sejarah. Di prasasti itulah semangat jaman, sosio-ekonomi, politik, kekuasaan, dan legitimasi melekat. Sebagaimana prasasti, menara, gardu, dan mercusuar menjadi pengingat atas semua yang pernah disebut sebagai masa lalu.

Rudolf Mrazek dalam Engineer of Happy Land (2006) pernah mengulas menara di salah satu bab bukunya itu. Menara, tandas Mrazek, adalah bangunan menjulang tempat orang mengawasi semua gerak-gerik di bawah. Tamsil lain, menara sama halnya dengan menunjukan kekuatan dan kekuasaan kolonial di mata pribumi.

Berdirinya bangunan-bangunan tinggi dalam sejarah arsitektur Nusantara pada awal abad ke-20 menunjukan kekuasaan itu. Tak ada satupun golongan masyarakat yang bisa membuat bangunan tinggi, selain kolonial. Paling mentok pribumi cuma bisa bikin bangunan berasitektur Eropa tapi tetap berlantai satu.

Abidin Kusno memang bukan Rudolf Mrazek. Ia tak menulis tentang menara, melainkan gardu. Meski begitu gaya bertutur Abidin dalam Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa bisa jadi hampir sama dengan gaya Mrazek dalam Engineers of Happy Land. Pun dalam menafsirkan sejarah, keduanya tak semata menghamparkan pelbagai data ke mata pembaca. Tapi di tangan Abidin dan Mrazek, data itu diolah sedemikian rupa sehingga tulisannya enak dibaca dan penting.

Dari tangan dan otak Abidin, gardu tak semata menandai ciri fisik tapi juga simbolik. Ciri fisik gardu sejak kali pertama muncul jaman kolonial hingga kini selalu berbentuk ruang terbuka, berlantai satu, dan tak lebih dari 5-6 meter. Artinya, tak ada gardu yang menjulang seperti layaknya menara-menara pengintai Kolonial.

Ciri fisik seperti ini, bagi Abidin, menyimbolkan atas kekuasaan ala kalangan bawah. Kekuasaan untuk mengawasi, menjaga, dan ruang terbuka untuk bertutur sapa yang bersifat horizontal. Keterbukaan seperti ditunjukan arsitektur gardu mengesankan sebagai ruang yang tak elitis.

Gardu beda dengan pos-pos penjaga di jaman kolonial. Pos jaga lebih berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Hal ini juga terjadi mana kala Jepang berkuasa di Indonesia.

Tapi sejak Soekarno mengumandangkan proklamasi, gardu diambil alih pribumi. Pengambilalihan itu disertai dengan perubahan fungsi. Sehingga gardu menjadi milik pribumi, milik rakyat, bukan milik penguasa dan bukan kolonial.

Asumsi itu ternyata tak selamanya benar. Sebab di era Soeharto memerintah, gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Sebuah model pertahanan semesta ala Soeharto yang ikut mendukung dan meligitimasi kekuasaaannya bernama sistem keamanan lingkungan (Sisklamling).

Bicara tentang rakyat, gardu, dan lingkungan Indonesia punya cerita. Gardu-gardu baru muncul ketika Indonesia menghadapi pemilihan umum 1999. Posko-posko Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menandai lahirnya sejarah gardu baru Indonesia sekaligus memberi makna baru.

Posko PDIP didirikan untuk menandai “kandang banteng”. Di mana kekuasaan politik Megawati bermukim. Bangunan ini didirikan setelah sebelumnya gardu yang merupakan bagian dari Siskamling warisan Orde Baru berdiri. Incarannya bukan maling, bukan juga penjahat tapi adalah RI 1.

Di samping posko itu, biasanya, didirikan podium. Sebuah panggung setinggi 3-5 meter tempat dulu Soekarno berpidato. Sementara Soekarno, sebagaimana diketahui, adalah ayah Megawati, Ketua Umum PDIP yang pada 1999 sedang mempersiapkan pesta demokrasi. Itulah makna dari sebuah gardu baru menurut buku setebal 154 halaman ini.

Membaca tulisan Abidin sama halnya membaca bentangan kekuasaan yang pernah hinggap di Indonesia. Membaca buku ini sekaligus seolah mengintai datangnya sejarah penulisan sejarah di Indonesia: historiografi sastrawi.

Genre ini mengadopsi teknik sastra dalam penulisan sejarah. Menggunakan alur serta bahasa yang longgar seperti yang sering digunakan sastrawan. Tapi sebagaimana historiografi, kelonggaran Abidin dibatasi dengan ketersediaan fakta. Dan Abidin patuh pada metode itu.

Alur buku ini diawali dengan deskripsi posko milik PDIP mundur ke jaman Soeharto—revolusi—Jepang—kolonial Belanda—menyinggung lagi jaman Jepang—revolusi—Soeharto—dan kembali ke posko Megawati. Pada akhirnya membaca buku ini seperti membaca novel bercatatan kaki tentang gardu.

Alur melingkar seperti itu dengan gaya bahasa yang longgar tentu saja diklaim yang empunya sastra. Sebab sementara ini, penulisan sejarah di Indonesia cenderung kronologis dan linier. Dengan dijejali data-data sejarah yang berhias warna-warni catatan-catatan kaki.

Menjadi catatan kaki tersendiri bila Abidin Kusno menorehkan namanya dalam penulisan sejarah Indonesia. Ia bukan saja mengetengahkan tema gardu di tengah-tengah kecenderungan tema politik, pergerakan, nasionalisme, dan biografi tokoh. Tapi membuktikan bahwa seorang yang berlatar belakang akademis arsitek pun bisa menjadi sejarawan.

Abidin bukan Sartono Kartodirdjo, sejarawan senior Indonesia. Sejarah gardu sama sekali beda dengan Pemberontakan Petani Banten 1888. Abidin juga tak menulis menara. Ia menulis tentang gardu. Tapi karyanya bisa jadi menjadi mercusuar. Bangunan tinggi menjulang, penunjuk arah dari sebuah perjalanan di samudera sejarah Indonesia. Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa menjaga ingatan sekaligus mercusuar yang meberi tanda dan arah penulisan sejarah Indonesia.


Identitas Buku:
Judul : Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa
Pengarang : Abidin Kusno
Penerjemah : Chandra Utama
Penerbit : Ombak, Jogjakarta
Tahun terbit : Januari 2007

Tebal : 154 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Gardu-gardu yang Mengawasi

0 komentar: