Muasalnya, ini kekeliruan kakek
dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang mengharapkan saya lahir sebagai
anak laki, dan untuk itu kepalang di usia 7 bulan dalam rahim ibu, dibuat
upacara khusus dengan bubur merah-putih bagi Arjuna disertai Weda mantra, pusaka pustaka warisan Sunan
Kalijaga dari masa awal syiar Islam di tanah Jawa. Jadi, apa boleh buat, nama
Arjuna adalah anugerah yang harus saya pakai sampai mati.” (hlm. 5)
“Walaupun saya tahu, saya tidak
cantik, toh saya memiliki rasa percaya diri yang luar biasa, yaitu berdasarkan
observasi, bahwa semua perempuan yang paling jelek pun, pasti bisa membuat
lakilaki, dalam keadaan darurat, terserang mata keranjang. Arti sebenarnya kata
‘mata keranjang’, harusnya dieja ‘mata ke ranjang’, adalah laki-laki yang
melihat perempuan serta merta pikirannya tertuju ke atas ranjang.” (hlm. 6)
“Saya tahu persis hal itu dari
observasi selama kuliah filsafat di sini, Amsterdam.”
“Di sini saya belajar filsafat
Barat. Saya tertarik mempelajari ini di bawah latar ke-Timur-an saya yang nian
kuat mengalir dalam tubuh-roh-jiwa saya. Sebagaimana saya katakan ibu saya
Jawa.”
“Ibu saya sarjana psikologi”
“…Ayah saya Tionghoa. Orang
Tionghoa bisa saja Kristen—Katolik dan Prostestan—seperti ayah saya, tapi
ikatan primordial Cina yang diperciri pada sinkretisme tiga agama rakyat
Tao-Konghucu-Buddha yang disebut dalam bahasa Hok Kian sam Kauw It kauw atau bahasa Mandarin Han Sen Wei Yi—demikian kokoh juga menjiwai sifat-sifat kultural ayah
saya. (hlm. 8)
“Saya menjadi semakin religius
setelah saya pindah kuliah dari jurusan filsafat ke spesialisai teologi
apologetika: teologi yang menangkis serangan-serangan ateisme teoritis dengan
cara pertahanan verbal.”
“Pada bulan kedua belajar teologi, saya jatuh cinta pada
dosen saya seorang Jesuit asal Banneux Belgia yang kelihatannya kebanci-bancian
tapi ternyata seorang koboi heunceut yang liar di atas Rajang. Kepada lakilaki
inilah saya menyerahkan hymen saya. Setelah itu dia menghilang secara
misterius, bahkan tanpa bilang good bey, au revoir, wasalam. Saya sempat merasa
hancur lantas memakinya saban lima menit sekali, mengatainya anjing, bahasa
Cina “gou”, bahasa Jawa “asu””.
***
Soal Tuhan, saya sering judeg. Teman-teman
saya di SMA dulu pernah mempersoalkan Tuhan ibu saya yang Islam beda dengan
Tuhan ayah saya yang Kristen. Saya bertanya memangnya Tuhan ada berapa? Jawabnya
satu. Tapi kalau kamu bilang ada Tuhannya Islam dan ada Tuhannya Kristen,
berarti kamu mengatakan ada dua Tuhan. (hlm. 78)
Terus terang sebenarnya saya
kurang mathuk dengan bunyi ayat pertama Pancasila. Kenapa “ketuhanan yang maha
esa” bukan “Tuhan yang maha esa”? bentuk nomina abstrak “ketuhanan” ini
mengarah pada konklusi seakan-akan ada banyak Tuhan yang harus disatukan dalam
persepsi tunggal. Ini aneh…
Soal Tuhan bagi saya adalah
urusan iman.
Memangnya bagaimana nalar mendefinisikan
Tuhan? Atau lebih Ilmiah: bisakah eksistensi Tuhan dibuktikan? Ah rasanya
filsuf siapapun akan mengaku tidak bisa membuktikan eksistensi Tuhan, tapi itu
tidak pula berarti Tuhan tidak eksis. (hlm 81)
***
Saya sudah bersepakat antara hati
dan otak untuk mengambil jurusan teologi apologetika berarti saya harus berpisah
dengan teman-teman diskusi. (hlm. 83)
Saya berpisah dengan Amin al-Ma’luf.
Teman kuliah saya ini orang Arab Kristen asal Lebanon. Mulanya saya anggap ini
aneh: Arab kok Kristen-sementara saya ingat Moammar Qadafy yang sudah dibunuh
mengenaskan itu, mengatakan bahwa bahasa Arab pun tidak bisa jadi Kristen—apalagi
orangnya. (hlm. 13)
Saya kemukakan niat keputusan saya
ini kepada Profesor Bloembergen. (hlm. 83)
Dengan Profesor Bloembergen saya
menjalani kuliah yang akrab itu sampai satu tahun, mengenali kembali secara
mendasar pengertian filsafat yang membahas perbedaan-perbedaan pandangan antara
tokoh yang satu dengan tokoh lainya.
Pembahasan kembali ini dilakukan
dalam dua gelombang. Yang pertama zaman Yunani Klasik sebelum masa Socrates dan
yang kedua zaman Yunani Klasik dari masa Socrates ke zaman tarik Masehi. (hlm
30)
“Jadi?” Tanya dia setelah saya
duduk. “apa yang bisa saya bantu buatmu?”
“Setelah semester ini berakhir,
saya bermaksud belajar teologi apologetik,” kata saya.
“Oh?? Apa amu akan menjadi
Pendeta Protestan?”
“Saya Muslim, Profesor.”
“Lantas, kenapa tertarik belajar
appologetik? Apologetic itu pertanggungjawaban iman Kristen atas serangan
filsafat yang dibilang sekular. Bidang itu lebih banyak digeluti pihak
Protestan, walapun ilmunya di sini diajarkan oleh seorang Jesuit”
“Saya Cuma mau belajar ilmunya an sich. Menurut saya sikap terhadap
ilmu haruslah bebas, tidak diganggu oleh prasangka-prasangka, tribal, etnis,
dan religiositas”.
***
Hari ini pertama kali saya
berkenalan langsung dengan Prof. Dr. Jean-Claude van Damme SJ, Pastor Jesuit
60-an tahun yang mengajar teologi apologeti. (134)
Kata-kata Van Damme yang pertama keluar ketika memulai kuliahnya adalah, “Apologetik, barangkali kita semua tahu, bersumber
dari surat Paus yang pertama, Kefas yang disebut Simon Petrus, yaitu arahannya
untuk mempertanggungjawabkan iman terhadap serangan verbal yang dilancarkan
secara filsafat oleh orang-orang cerdik-pandai yang tidak percaya pada Yesus
sebagai jalan kebenaran dan hidup. (135)
Kalau kita bicara tentang asas apologetic
secara plastis, maka kita harus memeriksa dulu serangan filsafat terhadap iman.
Filsafat modern yang menjadi studi khusus apologetic kita, adalah semua yang
besar-besarnya, filsafat-filsafat antesisme yang kadarnya sangat mempengaruhi
susastra: antiteisme Feuerbach, antiteisme nistche, antiteisme Marx, antiteisme
Freud, antiteisme Sartre.
Kenapa Antiteisme?
Kata Van Damme: "Saya lebih suka menggati kata ‘ateisme
teoritis’ dengan ‘antiteisme’. Kita tahu, dalam wacana teologi, dipakai dua
istilah standar untuk ateisme. Pertama ateisme praktis dan ateisme teoritis. Ataeisme
praktis adalah tidak kenalnya seseorang pada Allah Esa—yang di dalam Yahui dan
Islam sifatnya monoteisme absolute dan di dalam Kristen adalah monoteisme
trinitas—karena belum pernahnya orang itu disyiarkan untuk mengenalNya. Sedang ateisme
teoritis yang saya sebut antiteisme ini adalah seseorang yang dulu mengenal
satu Tuhan yang esa, tapi kemudian menyangkali-Nya, mewacanakannya dengan
teori-terori filsafat. (137)
***
Mulanya adalah Feurbach, pengejek
agama yang mempengaruhi Marx dan Freud. Bagi Feurbach, ‘tuhan’ adalah ‘mahkluk’
impian manusia. Sementara agama adalah sekadar projeksi akal manusia, mula-mula
bersifat subjektif, tapi kemudian dicarinya ‘korban’ untuk membuatnya menjadi
objektif.
Persoalan apologetik pada antiteisme
ini tidak sepenuhnya bisa diselesaikan dengan berdoa untuk pertobatan para
antiteisme sebagaimana dilakukan penganut Piteisme di Amerika pada 1960an.
Apologetik adalah kemampuan filsafat untuk menangkis, melawan, dan mengalahkan filsafat
antiteisme. Apologetic adalah defense verbal dengan otak.
Dalam apologetik bukan berarti
pula pula manusia menganggap tidak perlu lagi percaya pada Roh Kudus yang
bekerja di dalam doa. Soal roh Kudus, anak Sekolah Minggu pun tahu itu…(143)
Apologetik juga tidak mebicarakan
karma sebagaimana kematian Nietzsche. Filsuf ini mati karena penyakit kelamin
yang dideritanya. Padahal sebelumnya ia menyangkal keberadaan Tuhan.
***
Dan saya pulang ke Jakarta.
Tidak sendiri. Tapi bareng van
Damme. Girang melebihi rasa menangnya pelari marathon.
Nah. Ini seru, aneh. Dan tumben
menurut ukuran kontemporer Barat. Bahwa ternyata kawin sebagai penyatuan
perasaan cinta, masih tetap membutuhkan surat, padahal selama ini kawin sudah
dilakukan dengan memanfaatkan urat. (193)
Sebelum pesta ini, ibu dan ayah
sudah datang ke Belanda, mengurus surat kawin itu. Lebih gampang mengurus itu
di Belanda daripada di Indonesia. Di Indonesia segalanya dibikin berbelit-belit…(194)…
…tiga hari setekah berada di
Indonesia, tiga menit sebelum duduk di pelaminan, bayangkan, Van Damme, telah
bisa menyimpulkan tentang nyanyian “tanahairku Indonesia negeri elok banyak
pembohongnya….”
Kata Van Damme, “Oh, ya, bisa
dimengerti kenapa reaksi terhadap penghargaan yang diterima Presiden itu
dikecam oleh pihak minoritas, karena pidato yang disampaikannya di depan
sidang, menurut pihak minoritas hal itu tidaklah benar…
Identitas Buku:
Judul: Perempuan Bernama Arjuna (1)
Penulis: Remy Sylado
Tahun Cetak: Nopember 2013
Penerbit: Nuansa Cendekia. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)
0 komentar:
Post a Comment