rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

03 November 2014

Dialog Islam-Kristen dalam Novel Perempuan Bernama Arjuna 1

“Saya Arjuna. Serius, ini nama perempuan. Nama saya.

Muasalnya, ini kekeliruan kakek dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang mengharapkan saya lahir sebagai anak laki, dan untuk itu kepalang di usia 7 bulan dalam rahim ibu, dibuat upacara khusus dengan bubur merah-putih bagi Arjuna disertai Weda mantra, pusaka pustaka warisan Sunan Kalijaga dari masa awal syiar Islam di tanah Jawa. Jadi, apa boleh buat, nama Arjuna adalah anugerah yang harus saya pakai sampai mati.” (hlm. 5)

“Walaupun saya tahu, saya tidak cantik, toh saya memiliki rasa percaya diri yang luar biasa, yaitu berdasarkan observasi, bahwa semua perempuan yang paling jelek pun, pasti bisa membuat lakilaki, dalam keadaan darurat, terserang mata keranjang. Arti sebenarnya kata ‘mata keranjang’, harusnya dieja ‘mata ke ranjang’, adalah laki-laki yang melihat perempuan serta merta pikirannya tertuju ke atas ranjang.” (hlm. 6)
“Saya tahu persis hal itu dari observasi selama kuliah filsafat di sini, Amsterdam.”

“Di sini saya belajar filsafat Barat. Saya tertarik mempelajari ini di bawah latar ke-Timur-an saya yang nian kuat mengalir dalam tubuh-roh-jiwa saya. Sebagaimana saya katakan ibu saya Jawa.”

“Ibu saya sarjana psikologi”

“…Ayah saya Tionghoa. Orang Tionghoa bisa saja Kristen—Katolik dan Prostestan—seperti ayah saya, tapi ikatan primordial Cina yang diperciri pada sinkretisme tiga agama rakyat Tao-Konghucu-Buddha yang disebut dalam bahasa Hok Kian sam Kauw It kauw atau bahasa Mandarin Han Sen Wei Yi—demikian kokoh juga menjiwai sifat-sifat kultural ayah saya. (hlm. 8)

“Saya menjadi semakin religius setelah saya pindah kuliah dari jurusan filsafat ke spesialisai teologi apologetika: teologi yang menangkis serangan-serangan ateisme teoritis dengan cara pertahanan verbal.”
“Pada bulan kedua belajar teologi, saya jatuh cinta pada dosen saya seorang Jesuit asal Banneux Belgia yang kelihatannya kebanci-bancian tapi ternyata seorang koboi heunceut yang liar di atas Rajang. Kepada lakilaki inilah saya menyerahkan hymen saya. Setelah itu dia menghilang secara misterius, bahkan tanpa bilang good bey, au revoir, wasalam. Saya sempat merasa hancur lantas memakinya saban lima menit sekali, mengatainya anjing, bahasa Cina “gou”, bahasa Jawa “asu””.


***
Soal Tuhan, saya sering judeg. Teman-teman saya di SMA dulu pernah mempersoalkan Tuhan ibu saya yang Islam beda dengan Tuhan ayah saya yang Kristen. Saya bertanya memangnya Tuhan ada berapa? Jawabnya satu. Tapi kalau kamu bilang ada Tuhannya Islam dan ada Tuhannya Kristen, berarti kamu mengatakan ada dua Tuhan. (hlm. 78)

Terus terang sebenarnya saya kurang mathuk dengan bunyi ayat pertama Pancasila. Kenapa “ketuhanan yang maha esa” bukan “Tuhan yang maha esa”? bentuk nomina abstrak “ketuhanan” ini mengarah pada konklusi seakan-akan ada banyak Tuhan yang harus disatukan dalam persepsi tunggal. Ini aneh…

Soal Tuhan bagi saya adalah urusan iman.

Memangnya bagaimana nalar mendefinisikan Tuhan? Atau lebih Ilmiah: bisakah eksistensi Tuhan dibuktikan? Ah rasanya filsuf siapapun akan mengaku tidak bisa membuktikan eksistensi Tuhan, tapi itu tidak pula berarti Tuhan tidak eksis. (hlm 81)

***

Saya sudah bersepakat antara hati dan otak untuk mengambil jurusan teologi apologetika berarti saya harus berpisah dengan teman-teman diskusi. (hlm. 83)

Saya berpisah dengan Amin al-Ma’luf. Teman kuliah saya ini orang Arab Kristen asal Lebanon. Mulanya saya anggap ini aneh: Arab kok Kristen-sementara saya ingat Moammar Qadafy yang sudah dibunuh mengenaskan itu, mengatakan bahwa bahasa Arab pun tidak bisa jadi Kristen—apalagi orangnya. (hlm. 13)

Saya kemukakan niat keputusan saya ini kepada Profesor Bloembergen. (hlm. 83)

Dengan Profesor Bloembergen saya menjalani kuliah yang akrab itu sampai satu tahun, mengenali kembali secara mendasar pengertian filsafat yang membahas perbedaan-perbedaan pandangan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainya.

Pembahasan kembali ini dilakukan dalam dua gelombang. Yang pertama zaman Yunani Klasik sebelum masa Socrates dan yang kedua zaman Yunani Klasik dari masa Socrates ke zaman tarik Masehi. (hlm 30)

“Jadi?” Tanya dia setelah saya duduk. “apa yang bisa saya bantu buatmu?”
“Setelah semester ini berakhir, saya bermaksud belajar teologi apologetik,” kata saya.
“Oh?? Apa amu akan menjadi Pendeta Protestan?”
“Saya Muslim, Profesor.”
“Lantas, kenapa tertarik belajar appologetik? Apologetic itu pertanggungjawaban iman Kristen atas serangan filsafat yang dibilang sekular. Bidang itu lebih banyak digeluti pihak Protestan, walapun ilmunya di sini diajarkan oleh seorang Jesuit”

“Saya Cuma mau belajar ilmunya an sich. Menurut saya sikap terhadap ilmu haruslah bebas, tidak diganggu oleh prasangka-prasangka, tribal, etnis, dan religiositas”.

***
Hari ini pertama kali saya berkenalan langsung dengan Prof. Dr. Jean-Claude van Damme SJ, Pastor Jesuit 60-an tahun yang mengajar teologi apologeti. (134)

Kata-kata Van Damme yang pertama keluar ketika memulai kuliahnya adalah, “Apologetik, barangkali kita semua tahu, bersumber dari surat Paus yang pertama, Kefas yang disebut Simon Petrus, yaitu arahannya untuk mempertanggungjawabkan iman terhadap serangan verbal yang dilancarkan secara filsafat oleh orang-orang cerdik-pandai yang tidak percaya pada Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup. (135)

Kalau kita bicara tentang asas apologetic secara plastis, maka kita harus memeriksa dulu serangan filsafat terhadap iman. Filsafat modern yang menjadi studi khusus apologetic kita, adalah semua yang besar-besarnya, filsafat-filsafat antesisme yang kadarnya sangat mempengaruhi susastra: antiteisme Feuerbach, antiteisme nistche, antiteisme Marx, antiteisme Freud, antiteisme Sartre.

Kenapa Antiteisme?

Kata Van Damme: "Saya lebih suka menggati kata ‘ateisme teoritis’ dengan ‘antiteisme’. Kita tahu, dalam wacana teologi, dipakai dua istilah standar untuk ateisme. Pertama ateisme praktis dan ateisme teoritis. Ataeisme praktis adalah tidak kenalnya seseorang pada Allah Esa—yang di dalam Yahui dan Islam sifatnya monoteisme absolute dan di dalam Kristen adalah monoteisme trinitas—karena belum pernahnya orang itu disyiarkan untuk mengenalNya. Sedang ateisme teoritis yang saya sebut antiteisme ini adalah seseorang yang dulu mengenal satu Tuhan yang esa, tapi kemudian menyangkali-Nya, mewacanakannya dengan teori-terori filsafat. (137)
***
Mulanya adalah Feurbach, pengejek agama yang mempengaruhi Marx dan Freud. Bagi Feurbach, ‘tuhan’ adalah ‘mahkluk’ impian manusia. Sementara agama adalah sekadar projeksi akal manusia, mula-mula bersifat subjektif, tapi kemudian dicarinya ‘korban’ untuk membuatnya menjadi objektif.

Persoalan apologetik pada antiteisme ini tidak sepenuhnya bisa diselesaikan dengan berdoa untuk pertobatan para antiteisme sebagaimana dilakukan penganut Piteisme di Amerika pada 1960an. Apologetik adalah kemampuan filsafat untuk menangkis, melawan, dan mengalahkan filsafat antiteisme. Apologetic adalah defense verbal dengan otak.

Dalam apologetik bukan berarti pula pula manusia menganggap tidak perlu lagi percaya pada Roh Kudus yang bekerja di dalam doa. Soal roh Kudus, anak Sekolah Minggu pun tahu itu…(143)

Apologetik juga tidak mebicarakan karma sebagaimana kematian Nietzsche. Filsuf ini mati karena penyakit kelamin yang dideritanya. Padahal sebelumnya ia menyangkal keberadaan Tuhan.

***
Dan saya pulang ke Jakarta.
Tidak sendiri. Tapi bareng van Damme. Girang melebihi rasa menangnya pelari marathon.
Nah. Ini seru, aneh. Dan tumben menurut ukuran kontemporer Barat. Bahwa ternyata kawin sebagai penyatuan perasaan cinta, masih tetap membutuhkan surat, padahal selama ini kawin sudah dilakukan dengan memanfaatkan urat. (193)

Sebelum pesta ini, ibu dan ayah sudah datang ke Belanda, mengurus surat kawin itu. Lebih gampang mengurus itu di Belanda daripada di Indonesia. Di Indonesia segalanya dibikin berbelit-belit…(194)…

…tiga hari setekah berada di Indonesia, tiga menit sebelum duduk di pelaminan, bayangkan, Van Damme, telah bisa menyimpulkan tentang nyanyian “tanahairku Indonesia negeri elok banyak pembohongnya….”
Kata Van Damme, “Oh, ya, bisa dimengerti kenapa reaksi terhadap penghargaan yang diterima Presiden itu dikecam oleh pihak minoritas, karena pidato yang disampaikannya di depan sidang, menurut pihak minoritas hal itu tidaklah benar…

Identitas Buku:
Judul: Perempuan Bernama Arjuna (1)
Penulis: Remy Sylado
Tahun Cetak: Nopember 2013
Penerbit: Nuansa Cendekia. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)







Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Dialog Islam-Kristen dalam Novel Perempuan Bernama Arjuna 1

0 komentar: