Hari makin sore. Matahari
sebentar lagi tenggelam dan langit mulai agak temaram. Satu demi satu layang-layang
sudah ditarik dari angkasa. Semua orang pulang ke rumah masing-masing.
Namun dari satu rumah
di sebuah gang, terdengar suara musik yang keras. Begitu kerasnya sehingga
terdengar sampai ke rumah lainnya di seberang jalan besar. Persis seperti
sedang punya hajatan pernikahan atau khitanan anaknya, padahal bukan sama sekali.
Musik itu menggema
dari minikompo baru milik seorang lelaki berusia 55 tahun. Minikompo itu baru
saja dibelikan anak sulungnya yang datang dari Ibu Kota. Suaranya berdentam-dentam
menghantam telinga. Maklum, ia sedang menyetel music dangdut. Irama kendangnya
membuat kepala lelaki itu bergoyang kanan-kiri.
Orang itu merasa
takjub karena sekarang musik bisa diputar dari benda yang sangat kecil yang
dicolokkan ke salah satu lubang minikompo.
Dulu orang harus
memutar kases untuk mendengarkan lagu. Kaset itu pun harus dibeli dengan harga
yang cukup mahal dan hanya berisi paling banyak 10 lagu. Ia pernah punya banyak
kaset lagu dangdut. Sebelumnya malah menyetel lagu dari piringan lebar berwarna
hitam, sehingga disebut piringan hitam. Tidak semua orang punya pemutar
piringan hitam. Hanya orang kaya yang punya.
Zaman kaset berganti
dengan zaman piringan yang lebih kecil, yakni compat disc (CD)yang bisa memuat puluhan
hingga ratusan lagu. Namun zaman kejayaan CD hanya sebentar, segera digantikan
dengan benda mungil yang disebut flashdisk—benda ajaib yang bisa menyimpan
ratusan hingga ribuan lagu.
Lelaki itu
menggeleng-geleng mengikuti irama lagu. Takjub dia dengan perkembangan
teknologi yang sangat pesat. Begitu asyiknya sampai-sampai ia tidak mendengar
teriakan anaknya yang masih duduk di bangku SMP, Ismi.
“Pak, sudah azaaaan!”
teriak Ismi.
Ayah Ismi masih asyik
bergoyang ke kiri-kanan.
“Pak, sudah azaaaan!”
Ayah Ismi menoleh. “Apaaa?”
“Sudah azaaaan!”
Ayah Ismi baru sadar
dengan yang sedang ia lakukan. “Astagfirullah,” katanya sambil mematikan
minikompo. Tapi ia kesulitan. “Aduh, bagaimana cara mematikannya?”
Ismi segera
menghampiri ayahnya, mengambil remote control, dan mematikan minikompo itu.
Ayah Ismi melongo dan
memberikan isyarat permintaan maaf kepada beberapa orang yang melihat
kepadanya.
Sejak saat itu, ayah Ismi
sadar bahwa menyetel music tidak perlu keras-keras. Apalagi a tidak bisa
menyetel dan mematikannya sendiri. Ternyata membunyikan musik cukup untuk bisa
dinikmati sendiri, jangan sampai mengganggu tetangga.
Begitulah aturan dalam
masyarakat.
Ia beruntung anaknya,
Ismi, mempunyai kesadaran mengenai disiplin dalam bermasyarakat. Disiplin hidup
bertetangga memang tidak tertulis, tapi jika melanggar, kita sendiri yang
rugi.
Cerita di atas adalah salah satu contoh disiplin di tengah
masyarakat. Ada contoh lain disiplin di masyarakat antara lain, menjaga
kebersihan lingkungan, menjaga keamanan lingkungan, dan menghormati tetangga.
Selain di masyarakat, ada kedisiplinan di sekolah. Disiplin
di sekolah dapat dicerminkan dengan perilaku tertib dan patuh pada peraturan
sekolah. Contohnya, memiliki catatan kehadiran, memberikan penghargaan kepada
warga sekolah yang berdisiplin, menaati tata tertib sekolah, membiasakan warga
sekolah untuk berdisiplin, memberikan sanksi bagi pelanggar tata tertib sekolah,
membiasakan hadir tepat waktu.
Disiplin merupakan hal pokok dalam berkehidupan. Manfaat dari
kedisiplinan adalah kita bisa mengatur diri sendiri. Kelak di kemudian hari
ketika ada tanggungjawab lebih besar yang harus diemban kita bisa dengan enteng
menjalaninya.
Selain berdisiplin kita juga harus bekerja keras untuk
mencapai kesuksesan dalam hidup. Sekolah yang baik setidaknya mendorong
siswanya untuk bekerja keras. Ciri-ciri sekolah yang mendrong agar siswanya
bekerja keras antara lain, menciptakan suasana kompetisi yang sehat,
menciptakan rangsangan yang memacu kerja keras, membuat moto penyemangat,
menciptakan etos kerja pantang menyerah, memacu suasana belajar yang memacu daya
tahan kerja.
Selain disiplin, dan kerja keras, ada faktor lain lagi yang
mempengaruhi kesuksesan seseorang, yakni berpikir kreatif. Kreatif itu bentuk
dari kata sifat dari kara kreasi, kreasi memiliki makna hasil daya cita atau
hasil daya khayal yang dihasilkan manusia. Berkreasi berarti mencipta atau
menghasilkan sesuatu sebagai hasil buah pikiran. Jadi kreatif berarti memiliki
daya cipta atau juga bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk menciptakan. Anak
kreatif biasanya suka pada hal baru. Naluri berpetualang mereka sangat besar. Begitu
pula rasa ingin tahu mereka pada hal-hal yang belum mereka pahami. Karena itu
mereka begitu terbuka dengan pelbagai ilmu pengetahuan.
Anak kreatif juga memiliki daya imajinasi yang tinggi. Mereka
terkadang berpikir di luar pemikiran umum. Pikiran mereka begitu dinamis dan
minat mereka pada pelbagai ilmu pengetahuan sangat besar, mulai dari music hingga
politik sekali pun. Dengan pemikiran seperti itu, anak kreatif biasanya punya
banyak cara untuk menyelesaikan masalah. Mereka juga berani untuk tampil beda
sebab mereka percaya diri dengan gagasan-gagasannya yang orisinal.
Satu hal lagi dalam mencapai kesuksesan hidup yang sangat
menentukan adalah kemandirian. Kemandirian barangkali persis yang dikatakan
seorang Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, “Berbahagialah dia yang
makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena
pengalamannya sendiri”. Anak yang mandiri adalah mereka yang bisa mengatasi
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Mereka tidak takut akan hasil tapi
lebih gembira karena apa yang mereka kerjakan karena hasil jerih payah.
Pengalaman-pengalaman yang terus dialami akan membuat mereka maju dan semakin
yakin pada diri sendiri. Karena pengalaman-pengalaman itulah mereka bisa
berpikir kreatif. Kemandirian itu proses yang terus menerus akan berlanjut
sampai ajal menjemput.
Sekolah yang baik sebenarnya harus mendorong semua peserta
didik untuk berkarakter mandiri. Tugas-tugas pribadi yang diberikan kepada
peserta didik ada kalanya harus dikerjakan sendiri. Benar-benar sendiri untuk
mengukur seberapa mandiri peserta didiknya.
Disiplin, Kerja Keras, Kreatid dan Mandiri itulah yang
diulas oleh Hermawan Aksan dalam buku Pendidikan
Budaya Karakter Bangsa (2). Buku itu merupakan rangkaian seri dari buku Seri Pendidikan Budaya dan karakter Bangsa yang
di dalamnya memuat 18 nilai kaarkter yang ditekankan dalam Kurikulum 2013.
Buku tersebut ditulis dengan gaya bercerita dan tidak melulu
berisi nasehat dan larangan. Gaya bercerita demikian seyogyanya membuat para
pembaca baik guru maupun peserta didik merasa nyaman. Mereka bisa mengambil
nilai-nilai karakter yang ditekankan dalam pendidikan dasar dan menengah
sekarang.
Kehadiran buku ini senantiasa memberikan jawaban atas
kebingungan para guru terkait dengan pelaksanaan kurikulum 2013. Mereka tak
lagi kebingungan mencari model-model dan contoh nilai karakter yang ditekankan dalam
pendidikan karakter menurut kurikulum 2013. Buku ini akan sangat membantu dalam
melengkapi buku-buku ajar yang diterbitkan pemerintah. Sebab buku ajar yang
diterbitkan pemerintah hingga saat ini pun belum sepenuhnya diterima oleh
sebagian besar sekolah. Oleh karena itu sudah selayaknya buku ini ada di rak
perpustakaan buku di seluruh sekolah Indonesia.
Identitas Buku:
Judul: Seri Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa (2): Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, dan Mandiri
Penulis: Hermawan Aksan
Tahun Cetak: Agustus 2014
Penerbit: Nuansa
Cendekia. Kompleks Sukup Baru 23 Ujungberung, Bandung (022-76883000)
0 komentar:
Post a Comment