rangkuman pengetahuan, resensi buku, dan opini

22 April 2007

Mrazek, Teknologi, dan Metafora Nasionalisme Resensi Buku Engineers Of Happy Land


Rudolf Mrazek. Siapapun dia dan di manapun dia, ia tetap guru saya. Saya tak pernah melihat mukanya. Yang saya lihat beberapa buku karangannya; Sjahrir Politik dan Pengasingan, Tan Malaka, dan Engineers of Happy Land (EHL). Tiga buku itu membuat saya terhenyak. Bukan semata data yang dipaparkan, tapi juga cara penyajian dan tafsirnya. Saya banyak belajar dari dia bagaimana menyajikan sejarah supaya enak dibaca dan penting.Bukan semata sejarah-sejarahan yang kaku sekaligus jujur dengan catatan kaki.

EHL membuat saya terhenyak. Mrazek bukan semata sedang menulis sejarah tapi memetaforakan data sejarah. Metafornya berlipat-lipat. Teknologi bukan semata teknologi. Teknologi adalah metafor dari nasionalisme jaman Kartini hingga jaman Pramoedya meninggal.

Dengan satu buku EHL ia berbicara banyak hal. Inilah yang menyebabkan metefornya berlipat-lipat. Ia memang sedang menulis sejarah teknologi di Hindia Belanda. Tapi ia juga sedang menilisik nasionalisme Indonesia. Ia juga sedang bekerja untuk Cornel University dengan data-data yang dia dapatkan. Ia sedang menunjukan hanya Cornell yang bisa menulis sejarah Indonesia dengan baik dan tak kaku.

Yang belum saya ketahui, dan ini sungguh pribadi; penuh prasangka; dan oksidentalis, ia sedang meruntuhkan mitos nasionalisme Indonesia. Tapi saya coba bunuh prasangka buruk itu. Saya percaya ia tak seburuk itu. Ia barangkali hanya kagum. Sebagaimana Ben Anderson yang mengagumi Indonesia.

Negeri dengan beragam etnis, bahasa, agama, golongan, kepentingan ini masih bisa bersatu selama seabad. Hanya di Indonesia nasionalisme macam itu terjadi. Yugoslavia hancur berkeping-keping lebih dulu. Rusia pecah. Amerika terus belajar, untuk melanggengkan nasionalisme mereka dengan laboratoriumnya: Indonesia.

Di situlah letak kecanggihan berpikir sejarawan dari Republik Ceko ini. EHL adalah teks yang bisa tafsirkan berlipat-lipat dengan metafora yang berlipat-lipat pula. Tapi ketika saya membaca cara berpikir Mrazek, ia tak ubahnya sebuah teks. Sebagaimana metafora dan alur berpikirnya yang terdapat dalam bab-bab yang dipaparkan, akan saya tafsirkan sendiri sebatas teks yang ada. Inilah kemenangan sekaligus kekalahan ketika saya menjadi pembaca teks. Saya diberi kebebasan menfasir tapi tafsiran saya dibatasi teks yang tersedia:

Nasionalisme Itu…

Ketika jalan-jalan mulai lempang, halus, dan tak becek nasionalisme mengalir cepat, mudah dalam darah pribumi. Jalan memudahkan Kartini, Marco dan pribumi udik lain untuk mengetahui daerah-daerah di luar “tempurung” mereka.

Memilih Kartini dan Marco sebagai contoh sama saja memetaforkan sebuah golongan intelektual Indonesia. Keduanya adalah pribumi dari kelas yang berbeda. Kartini mendapatkan pencerahan dari Barat. Nasionalisme-nya dikonstruk Barat. Kedekatannya dengan Barat membuatnya terobsesi. Bahkan bayangan moi indie-nya terbentuk dari pendidikan ala Barat. Termasuk bagaimana ia memaknai teknologi sebagai sesuatu yang mennggembirakan.
tak banyak mendapatkan sentuhan Barat. Sekolahnya cuma sampai Ongko Loro. Nasionalismenya lebih terbentuk dari pendidikan guru-gurunya: Tirto, Suwardi Suryaningrat, dan Wahidin. Dalam hal teknologi Marco tak cuma memanfaatkan tapi juga sebagai media perlawanan.

Tapi bagi keduanya, jalan dan alat transportasi (teknologi) menjadi medium yang memungkin orang untuk memiliki bayangan terhadap Indonesia. Inilah, bagi saya, letak perbedaan Ben Anderson dan Mrazek. Jika Ben, mengatakan nasionalisme awal terbentuk atas kapitalisme cetak, maka Mrazek paparkan jalan juga menjadi pembentuk nasionalisme.

Nasionalisme itu semakin mengalir, mengalir, dan terus mengalir ketika alat-alat transportasi merambah tanah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Kereta api menjadi transportasi penting dalam membentuk Indonesia.

Kereta api yang cepat, yang melaju seperti monster menurut Kartini, yang memuat banyak orang lebih mungkin mengalirkan darah nasionalisme Indonesia dibanding mobil atau kereta kuda. Mobil terlalu elitis. Kereta kuda terlalu lambat. Keduanya memuat tak lebih dari 5 orang.

Dari kereta api kelas-kelas sosial, perlawanan, dan penjajahan dibaca. Beragam cerita ada didalamnya. Pribumi yang tak mampu bayar peron, pencopet, hingga para kolonial yang sombong. Marco disuruh pindah ke kelas tiga sebab, ada penumpang Belanda yang menginginkan tiketnya.

Bahasa adalah jalan. Sama saja bahasalah yang dapat melapangkan nasionalisme Indonesia. Bahasa Melayu melintasi batas-batas bahasa-bahasa daerah. Bahasa inilah yang lebih nasional, daripada bahasa Jawa, atau bahasa-bahasa lain.

Tafsir Mrazek hampir serupa dengan apa yang dikemukakan Ben. Baik kapitalisme cetak maupun jalan dan teknologi tansportasi lain (kereta api) semuanya adalah medium untuk melancarkan proses nasionalisme Indonesia. Di sinilah dialektis antara gagasan Ben dan Mrazek. Mrazek tak membantah, ia hanya melengkapi gagasan seniornya.

Meskipun kemudian Mrazek berkelit lincah bahwa ia terkendala bahasa. Seperti pejalan di jalanan yang becek di kala hujan, perjalanan Mrazek terkendala bahasa Inggris-nya yang buruk. Lagi-lagi di sini nampak kecanggihan gaya berpikirnya yang ikut merayakan post modernisme, merayakan hal-hal yang dianggap remeh temeh.

Tahap lanjut nasionalisme Indonesia ialah menjujung tinggi nasionalisme itu dalam benak. Nasionalisme tahap kedua dimetaforakan Mrazek dengan menara-menara yang menjulang. Menara-menara yang tinggi. Menara-menara yang bisa yang terasa sombong. Bangunan-bangunan berdinding kokoh dengan pondasi-pondasi kuat. Bangunan yang dibangun dengan biaya-biaya mahal.

Arsitektur Belanda yang menekankan pada bangunan-bangunan tinggi seolah menunjukan kesombongan. Angkuh, congak, jumawa, dan terkesan tak mau ditandingi. Sebab di awal abad ke-20 hanya Belanda yang mampu membuat bangunan yang tinggi. Menara-menara itu itu adalah tamzil atas kesombongannya.

Ciri khas arsitektur ala Belanda itu sama saja dengan arsitektur nasionalisme Indonesia. Keangkuhan kolonial itulah yang menyebabkan bangunan nasionalisme Indonesia menajadi kokoh. Amarah yang terpendam dalam benak pribumi yang dianggap rendah menjadi pondasi keras bagi nasionalisme Indonesia.

Ciri khas arsitek Belanda yang suka membangun gedung-gedung yang tinggi dan kokoh sama saja dengan arsitek nasionalisme Indonesia: Soekarno. Ia gemar membuat nasionalisme tampak kokoh dan tinggi. Sosok Soekarno merepresentasikan dua hal sekaligus: arsitek bangunan dan nasionilsme Indonesia.

Marzek barangkali memberi petunjuk, jangan sombong dan angkuh di negeri koloni: sebab kesombongan akan melahirkan perlawanan. Maka dari itu berramah tamahlah dengan pribumi. Dekati mereka, peluk mereka, timang-timang mereka. Entah petunjuk itu ditujukan kepada siapa. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai sosok bukan saja karya sejarah dari Cornell University.

Nasionalisme ialah pencerah sebagaimana listrik yang membuat bolam-bolam menyala dan menerangi kegelapan Hindia Belanda. Listrik menjadi teknologi baru di jaman yang baru. Listrik membuat pribumi terpukau, takjub, dengan teknologi yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Bola-bola gas yang menyala itu masuk dalam pandangan mereka.

Sedangkan foto sebagaimana diyakini adalah dokumentasi yang memampatkan waktu dan ruang. Selembar foto benar-benar memadatkan realitas. Foto menjadi realitas baru, realitas yang padat yang hanya mencuplik dari hamparan realitas sesungguhnya. Di awal abad ke-20 fotografi menjadi teknologi baru. Lagi-lagi Kartini, tokoh penting di jaman itu, begitu takjub dan terobsesi.

Di sisi lain teknologi optik juga berkembang. Kaca mata dengan bingkai dan lensanya membantu orang melihat dengan jelas. Ketika jaman baru mengenal kacamata sebagai fungsi primer, belum sebagai asesoris, alat itu memperjelas realitas. Membantu mengindera mata yang berpandangan kabur.

Nasionalisme sama saja dengan listrik, foto, dan alat optik. Ia meneguhkan jalan terang bagi keberagaman Indonesia hanya bisa dipersatukan dengan nasionalisme. Sebagai foto, sebenarnya, nasionalisme memampatkan waktu dan ruang. Hindia Belanda yang luas termampatkan dalam sebuah kata: Indonesia. Sebagai kaca mata, nasionalisme menjadi cara pandang.

Nasionalisme itu melekat dalam diri manusia Indonesia. Sehingga ia tampak eksotik. Ia membuat percaya diri melangkah dalam sejarah. Sebagaimana Soekarno, pesolek Indonesia, yang percaya diri dengan nasionalismenya. Pakaian adalah martabat, nasionalisme pun demikian. Tanpanya bangsa menjadi tak bermartabat.

Di atas adalah nasionalisme yang saya tafsirkan dari EHL. Di akhir tulisan ini, saya sangat berterima kasih kepada intenet, blog, handphone sebab dengan itu memudahkan jalan saya. Dengan teknologi saya semakin individual di tengah dunia yang semakin mengglobal. Saya seperti seorang tuli yang mencoba mencerna dengan baik apa yang dikatakan lawan bicara saya: Barat. Saya kira manusia jaman ini tak jauh beda dengan Kartini dan Marco: mengagumi dan memanfaatkan teknologi atau bahkan sebaliknya menjadikannya sebagai media perlawanan.


Identitas Buku:
Judul: Engineers of Happy Land
Pengarang: Rudolf Mrazek
Penerbit: Yayasan Obor, Jakarta
Cetakan: I Juni 2006
Tebal: 442 hlm.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Mrazek, Teknologi, dan Metafora Nasionalisme Resensi Buku Engineers Of Happy Land

2 komentar:

zenrs said...

Apik-apik. Lebih dari sekadar lumayan.

jalan-setapak said...

lumayan gung.. baca juga blogkku yo cah bagus, kasih comment juga. di sukucree.blogspot.com